Postingan

MENTARI di USIA SENJA

Gambar
Karya: Eko Windarto  Di Kota Batu, di bawah langit Desember yang membentang selembut samawi Terbitlah sosok Dwi Astuty Agustina Ibarat fajar menyingsing kala pagi mulai menghela nafas, membawa cahaya yang menepis kabut kelam usia, menebar sinar hangat yang membelai bumi dengan kasih tak bertepi. Hari Ibu menjadi taman tempat bunga inspirasi mekar, di tengah gema angin Gabungan Organisasi Wanita. Tema hidup bahagia di usia senja Menggema laksana nyanyian daun-daun yang berkelana di udara Aktif dan produktif adalah mata air yang tak pernah kering Mengalirkan kekuatan menuju samudra kemakmuran jiwa Ia adalah sungai mengalir deras di musim kemarau Menyirami tanah-tanah kering haus akan harapan dan doa  Bunga-bunga dedikasi bermekaran sepanjang tepian Gebu semangatnya laksana angin musim semi menggerakkan pepohonan Menghidupi setiap ranting dengan napas kehidupan baru Dalam langkahnya, batu-batu kerikil tantangan terpijak tanpa gundah gulana  Selaras dengan gerak r...

MELODI CINTA Yang MENGALIR BEBAS

Gambar
Karya: Eko Windarto  cinta adalah cahaya  tak pernah padam dalam jiwa seperti matahari yang setia menghangatkan pagi meski awan datang menerpa dia bukan milikku ia adalah anugerah yang mengalir bebas di sungai-sungai tanpa sungut dan ikatan cinta adalah bisikan lembut angin malam mengusap rindu dalam diam merangkai nada-nada hati tak terucapkan menjadi melodi abadi   didengar oleh jiwa yang mengerti janganlah kau tawarkan cintamu sebagai beban cinta sejati adalah sayap kupu-kupu memeluk kebebasan dalam jambangan bunga itu  ia adalah taman rahasia di dalam kalbu tempat bunga-bunga harapan tumbuh mekar dan syahdu  menghiasi hari-harimu dengan warna tak lekang oleh waktu dalam cinta, ada keberanian untuk menerima segala  dan kebijaksanaan memahami tanpa menghakimi ia adalah cermin keindahan tanpa jeda  berikan cintamu seperti embun  dan terima cinta seperti bumi menyambut hujan dengan lapang hati tanpa syarat, tanpa syahwat kepemilik...

PARU PARU PAPUA: SUARA Dari HUTAN Yang TERANCAM

Gambar
Sumber foto: @dendimanaa Karya: Eko Windarto  Di pelukan hijau Papua Alam dan budaya menari bersama Seperti dua jiwa satu rasa satu jiwa Menjahit kehidupan dalam anyaman waktu tanpa jeda  Maikel Yamese, suara Moi yang bergemuruh rindu Berkata, “Nanti kalau alam hancur, Kita mau dapat paru-parunya di mana lagi?” Sebuah pertanyaan yang bergema hingga ke bawah langit jiwaku Hutan adalah ibu, penjaga, dan pemberi Dari akarnya meronce daun-daun jiwa Setiap napas berasal dari sana Setiap denai kehidupan bermula di pusar buminya  Namun, mata dunia memandang hutan sebagai ruang kosong, Sebidang tanah yang bisa dipotong, dijual, dan dilupakan. Antara 1992 sampai 2022, Tujuh ratus ribu hektare, tubuh raksasa yang terkoyak, sepuluh kali lipat dari DKI Jakarta lenyap dalam senyapnya waktu. Bagaimana bisa kita menyimpan paru-paru dunia, ketika gergaji dan api menari di atas penderitaannya? Bisakah kita mendengar tangis tanah yang mengering, di sudut sepi? Siapa saja yang p...

Camat Bumiaji Wujudkan Inklusi Lewat Musik untuk Penyandang Disabilitas

Gambar
BATU, -- Sosok Camat Bumiaji, Thomas Maido, S.Sos, layak mendapatkan apresiasi tinggi. Di tengah kesibukannya sebagai abdi negara di Pemerintah Kota Batu, Thomas justru menunjukkan kepedulian yang luar biasa terhadap penyandang disabilitas. Ia tak sekadar memberi bantuan, namun berani turun tangan langsung dengan mewadahi dan mengembangkan kreativitas mereka, khususnya lewat jalur musik. Thomas Maido menuturkan, kepedulian itu tertuang dalam sebuah program kerja bernama Shining Disabilitas (Shindi). Program ini menjadi langkah strategis untuk memberdayakan semua potensi, minat, dan bakat masyarakat di Kecamatan Bumiaji, bahkan mencakup Kota Batu dan sekitarnya seperti Malang Kota dan Kabupaten Malang. “Shindi kami rancang untuk menampung minat bermusik, seni, budaya, dan juga kegiatan Pramuka bagi penyandang disabilitas,” katanya saat berbincang dengan media, Minggu (21/12/2025). Berangkat dari fakta bahwa selama ini potensi penyandang disabilitas belum terwadahi dengan bai...

Menggali Kedalaman Makna dalam "Sajak Mengenang Ibu"

Gambar
Oleh: Eko Windarto  Puisi "Sajak Mengenang Ibu" karya Moel Soenarko lebih dari sekadar ungkapan kerinduan dan penghormatan terhadap sosok ibu. Ia adalah mahakarya yang menganyam kisah tentang keberanian, ketegaran, dan cinta tak bertepi dari seorang perempuan, dalam bingkai feminisme yang halus namun kuat. Sebagaimana kita menelisik potret ibu dalam puisi ini, kita menemukan gema-gema perlawanan terhadap norma patriarki sekaligus penghargaan mendalam terhadap esensi feminin yang membentuk tatanan hidup.  Bismillahirrohmanirrohim # Hari Ibu SAJAK MENGENANG IBU Moel Soenarko Beduk dan kokok ayam bersahutan  dini hari Kau lantunkan surat Ar- Rahman berkali- kali Dari nada rendah sampai tinggi tak henti Agar kami terjaga dengan peringatan dini Bersegeralah menyalakan matahari Lagu kata dan gerak tubuh meyakinkan Jelas, terang dan berkelanjutan ' Bak nyala pelita dalam sanubari Bila matahari bisa berlari mundur Mengejar bayang- bayangmu nan tegar Yang mengajarkan h...

Habis Cabe Muncullah Terang

Gambar
Oleh: Eko Windarto  Ferry Irwandi, seperti penyair yang membawa sajak matahari  Menggendong panel surya di pundaknya yang bertabur debu bumi Membawa kilau matahari yang terperangkap dalam sekeping sepi Di kampung Sumatera yang terluka, dimana malam berbisik pilu dan angin mengantarkan tangis reruntuhan, terang itu menyalakan jendela jiwa yang lama terkunci, menghantarkan pelukan hangat dari sang surya yang abadi. Habis cabe, muncullah terang— bagaikan hujan setelah bara, pedih yang membakar menjadi embun yang menyejukkan. Seperti cinta yang pada awalnya terbakar liar, lalu meredup menjadi nyala api yang setia dan lembut. Dalam pelik luka, cinta itu memilih tumbuh, melebihi reruntuhan dan kesunyian, melukis harapan di kanvas malam yang kelam, seperti rangkaian bunga yang mekar di tengah gurun pasir. Satu jiwa yang tak sempurna, menjadi lentera yang menolak karam dalam samudra duka. Menggenggam cahaya  Menyelimuti dingin dan menghidupkan kembali mimpi yang hampi...

KETIKA BANTUAN DITOLAK

Gambar
Karya: Eko Windarto  Para korban, bencana menggulung Aceh dan Sumatera, rumah hilang, keluarga terpisah, rasa aman hancur, jiwa terperangkap sunyi. Menteri Sosial berkata, “Sepuluh ribu rupiah per hari.” Sepuluh ribu lebih murah dari parkir dua jam di kota besar ini. Di sisi lain, negara membelanjakan lima belas ribu untuk satu piring MBG, sekali makan—sekali kenyang. Apa arti angka-angka itu? Satu piring lebih bernilai dari manusia kehilangan segalanya? Mari hitung sederhana, satu juta manusia di pengungsian, sepuluh ribu rupiah sehari, sepuluh miliar untuk mengisi perut, minum, obat, air bersih, harga diri yang hilang. Datang bantuan, dari Malaysia, dari langit Uni Emirat Arab, beras dan logistik solidaritas yang mengalir dari hati dunia. Tapi apa kata negara? Ditolak. Dikembalikan. Dengan alasan prosedur, dengan dalih gengsi dan kedaulatan bahasa kosong. Padahal yang lapar tidak hidup dari protokol dan kehilangan rumah tidak kenyang oleh simbol yang hampa. Ironi yang...