Bahaya Keterlibatan Bandar Kapitalis dalam Proses Pemilihan Umum dan Dampak Buruk bagi Masyarakat
Bahaya Keterlibatan Bandar Kapitalis dalam Proses Pemilihan Umum dan Dampak Buruknya Bagi Masyarakat
Oleh: Agus Adianto
Mengundi nasib dalam politik, bandar menebar tengkulak untuk belanja suara para calon pemilih, para makelar berlomba-lomba menjadi sales marketing bagi para calon, mekelar bersilat lidah bagaikan bakul obat kuat, sekuat speaker Toa.
Dalam dunia politik sudah menjadi rahasia umum bahwa pengumpulan suara pemilihan membutuhkan biaya yang tidak sedikit: indikasinya adalah transaksional, ada yang sembunyi-sembunyi dengan berbagai macam modus, ada juga yang secara terang-terangan tetapi tetap dalam kesembunyian.
Tidak semua calon Kepala Daerah mempunyai biaya untuk mencalonkan diri dalam kontestasi Pilkada. Lantas darimana biaya didapatkan ?!
Patut diduga dan dipastikan bahwa modalnya adalah dari para bandar dan cukong dengan berbagai macam negoisasi, para bandar sudah terbisa berspekulasi mengundi nasib [Gambling].
Mengundi nasib apa bedanya dengan berjudi ?
Jika beruntung akan menang, jika tidak beruntung tentu pastinya akan kalah dan merugi.
Para bandar memasang pion-pion sebagai alat sarana perjudian.
Para pion akan bertarung semaksimal mungkin untuk memenangkan kontes demi menyenagkan para bandar dan cukong, meski dengan dalih yang katanya membela rakyat dan "Suara Rakyat adalah suara Tuhan" Katanya.
untuk selanjutnya si pion dapat ikut serta menikmati remahan-remahan kue politik hasil dari mengundi nasib.
Meskipun calon kepala daerah menang dalam pemilihan, namun jika tidak memiliki modal sendiri untuk pasang taruhan dalam mengundi nasib melalui pemilihan suara, tetap saja tidak akan pernah menjadi pemenang. Sekalipun menang dengan modal sendiri jika proses pemilihan dilakukan dengan cara-cara licik, membeli suara, menyuap rakyat dengan sembako dan nominal uang, maka dia juga tidak pernah menjadi pemenang "Kalah Menang Tetap Kalah," Itu lebih baik dan tepat.
Yang menang adalah para bandarnya. Para pion akan tetap menjadi objek yang paling terkalahkan, sebab dirinya akan terbeban dengan pengembalian modal milik para bandar dan cukong.
Soal kebijakan, jika suatu saat si pion tidak mau menuruti syahwat keserakahan bandarnya, bisa dipastikan bandar akan marah besar dan dengan segala cara akan mencari jalan untuk melenyapkan si pion. Sungguh miris, ironis dan sangat memprihatinkan nasib si pion yang menjadi alat sarana pemuas nafsu para bandar kapitalis yang serakah. Sungguh memilukan jika suatu saat akan berakhir menjadi gelandangan politik.
Sebagai masyarakat hanya bisa pasrah dan menerima akibat-akibat dari keserakahan para bandar kapitalis yang sekaligus menjadi pemodal dalam nenguasai aset-aset, terutama lahan-lahan. Baik sawah pertanian maupun perkebunan untuk di rubah fungsikan menjadi tempat wahana wisata baru, dan juga Vila.
Para bandar tidak akan pernah peduli dengan kondisi dan situasi di lingkungan. Mau alamnya rusak, mau bencana alam mengancam, mau banjir, longsor, tak pernah menghiraukan.
Yang terpenting adalah mengeruk untung sebesar-besarnya seperti kapal keruk.
Setelah dapat langsung cabut.
Dianggap itu bukan tanggung jawab kami sebagai Investor, melainkan itu tanggung jawab Pemerintah Kota. Rakyat dan pemerintah menjadi sibuk dengan beban kerusakan alam,
bahkan saling tuding dan saling menyalahkan.
Sementara bandar dan cukong sekaligus pemodal, dengan santai melenggang kangkung.
Duduk manis menikmati secangkir minuman dan cemilan, menggemukan diri, hingga akhirnya terkena komplikasi berat, seperti jantung koroner, diabetes, gagal ginjal, hippertensi dll.
Yang kemungkinan besar berakhir menjadi bunga bangkai atau mayat hidup. Tak berdaya diatas ranjang menanti ajal dan azab menjemput manusia penuh karma, sebab telah mendzlimi alam.
Hadirnya investor bisa berdampak positif atau negatif secara signifikan terhadap masyarakat. Lapangan kerja juga tidak semua masyarakat lokal berkesempatan mendapatkan. Kenaikan pajak sudah pasti dan cenderung tinggi. Apakah pemberdayaan UMKM hanya sebagai retorika belaka? Banyak UMKM tak mampu membayar sewa stand-stand ditempat wisata yang begitu mahal. Hanya segelintir orang saja. Itupun kemungkinan besar UMKM dari luar kota.
Belum lagi persaingan sesama pedagang dari luar kota yang membanjiri, sebagai dampak arus urbanisasi, dan itu tidak mungkin akan bisa dibendung, sebab masing-masing individu memilki hak memperoleh penghasilan.
Batu, 12/8/2024
Komentar
Posting Komentar