Fenomena Jadi Skeptisisme Meremangkan Jalan Hidup
Oleh: Roja Murtadho
Husserl menggunakan istilah fenomenologi untuk menunjukkan apa yang nampak dalam kesadaran kita dengan membiarkannya termanifestasi apa adanya tanpa memasukkan kategori pikiran kita padanya atau menurut ungkapan Husserl: zuruck zu den sachen selbt (kembalilah kepada realitas itu sendiri). Berbeda dengan Kant, Husserl menyatakan, bahwa apa yang disebut fenomena adalah realitas itu sendiri yang nampak setelah kesadaran kita cair dengan realitas. Fenomenologi Husserl bertujuan mencari yang essensial atau eidos (esensi) dari fenomena itu.
Dari penjelasan di atas dapat diketahui, bahwa fenomenologi berusaha mengangkap fenomena sebagaimana adanya (to show itself) atau menurut penampakannya sendiri (veils itself), atau menurut penjelasan Elliston, “phenomenology then means… to let what shows itself be seen by itself and in terms of itself, just as it shows itself by and from itself.” (Fenomenologi dapat berarti: …membiarkan apa yang menunjukkan dirinya sendiri dilihat melalui dirinya sendiri dan dalam batas-batas dirinya sendiri, sebagaimana ia menunjukkan dirinya melalui dan dari dirinya sendiri).
Menurut G. van der Leeuw, fenomenologi mencari atau mengamati fenomena sebagaimana yang tampak. Dalam hal ini ada tiga prinsip yang tercakup di dalamnya: (1) sesuatu itu berujud, (2) sesuatu itu tampak, (3) karena sesuatu itu tampak dengan tepat maka ia merupakan fenomena. Penampakan itu menunjukkan kesamaan antara yang tampak dengan yang diterima oleh si pengamat, tanpa melakukan modifikasi.
Dalam perjalanan kehidupan masa kini, telah menjadi fenomena begitu banyak. Hal-hal yang telah terjadi di muka bumi ini menjadi fenomena baik fenomena alam maupun fenomena perilaku, sosial, bahkan agama. Semua fenomena ini begitu pekat dan kental di dalam masyarakat yang sering pula menimbulkan keraguraguan dalam melangkah. Salah satu hal yang fenomenologis saat ini adalah tentang fenomena agama.
Persoalan persoalan yang dialami manusia adalah sesungguhnya persoalan agama yang sebenarnya. Pergumulan dalam kehidupan kemanusiaan pada dasarnya adalah pergumulan keagamaan. Para antropolog menjelaskan keberadaan agama dalam kehidupan manusia dengan membedakan apa yang mereka sebut ‘common sense’ dan ‘religious atau mystical event’. Dalam satu sisi common sense mencerminkan kegiatan sehari-hari yang biasa diselesaikan dengan pertimbangan rasional ataupun dengan bantuan teknologi, sementara itu religious sense adalah kegiatan atau kejadian yang terjadi di luar jangkauan kemampuan nalar maupun teknologi.
Penjelasan lain misalnya yang diungkapkan oleh Emile Durkheim tentang fungsi agama sebagai penguat solidaritas sosial, atau Sigmund Freud yang mengungkap posisi penting agama dalam penyeimbang gejala kejiwaan manusia, sesungguhnya mencerminkan betapa agama begitu penting bagi eksistensi manusia. Walaupun harus disadari pula bahwa usaha-usaha manusia untuk menafikan agama juga sering muncul dan juga menjadi fenomena global masyarakat.
Fenomena inilah yang akhirnya muncul dan mewarnai karya-karya dalam bentuk puisi. Puisi sebagai penggambaran kehidupan nyata menyuarakan fenomena-fenomena yang muncul dalam kehidupan. Karena puisi hidup dan terlahir dari kehidupan manusia.
Puisi tidak memandang di mana dia mesti berada karena puisi terlahir dari jiwa-jiwa sunyi penyair. Puisi mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengkonsentrasikan kekuatan bahasa dengan struktur fisik dan struktur batinnya. Puisi juga diciptakan berdasarkan aliran kehalusan batin penyair, kepekaannya terhadap fenomena alam, peristiwa di lingkungan sekitar hidupnya, kejadian-kejadian penting dalam hidup dan kehidupan.
Puisi terlahir sabagai penggambaran perjalanan batin seseorang dapat berupa kegelisah-kegelisahan pada nilai-nilai ketuhanan, sosial, kritik sosial, budaya, filosofis, ataupun edukatif. Perjalanan batin inilah yang akhirnya memengaruhi penulis/penyair dalam menuangkan pengalaman batinnya ke dalam puisi.
Fenomena yang hadir dan begitu pekat menggumuli dunia ini dan lahirnya pemberitaan-pemberitaan bahkan pernyataan-pernyataan yang mengaburkan menjadikan titik keragu-raguan bagi umat manusia yang terkumpul dalam sebuah masyarakat. Fenomena tersebut menimbulkan bermacam-macam gesekan hingga akhirnya pun melahirkan permusuhan-permusuhan. Keragu-raguan (skeptisisme) dalam memahami dan menyikapi fenomena yang muncul menjadi sebuah kegamangan. Jika sudah demikian kemana kita mesti bermuara, ini adalah sebuah pertanyaan yang butuh perenungan dan pencarian tentang kesejatian.
Skeptisisme adalah paham yang memandang sesuatu selalu tidak pasti (meragukan, mencurigakan) contohnya; kesulitan itu telah banyak menimbulkan skeptis-isme terhadap kesanggupan dalam menanggapi gejolak hubungan secara menyeluruh. Menurut kamus besar bahasa indonesia skeptis yaitu kurang percaya, ragu-ragu (terhadap keberhasilan ajaran dsb): contohnya; penderitaan dan pengalaman menjadikan orang bersifat sinis dan skeptis. Jadi secara umum skeptisisme adalah ketidakpercayaan atau keraguan seseorang tentang sesuatu yang belum tentu kebenarannya.
Eko Windarto adalah seorang penyair yang dengan jiwa merdekanya telah menyunting informasi dan peristiwa kehidupan yang dituangkannya ke dalam puisi. Dengan harapan agar puisi-puisinya dapat menjadi penyeimbang keadaan dan suasana genting dalam kehidupan yang multi dimensi ini tanpa menunggu imbalan dari siapapun. Melalui puisi-puisinya Eko windarto berusaha untuk membunyikan apa yang telah mengendap di dalam batin dan pikirannya. Di dalam keyakinanya yang hidup di zaman globalisasi hebat ini, sering kali dia dihadapkan pada situasi yang tidak menentu dan kadang sulit untuk disimpulkan. Ia terus dan terus melaju ke titik termatang meskipun terus dirimbuni keragu-raguan dan kegamangan-kegamangan disebabkan fenomena yang muncul di hadapannya.
Melalui puisi ia terus bersuara, menyuarakan dirinya , alam, dan juga manusia di sekitarnya bahkan hingga yang jauh sekali dari dirinya sendiri. Sebagai penyair dia menulis dengan ikhlas dan penuh tanggung jawab terhadap apapun yang dia tulis bukan hanya di hadapan manusia juga di hadapan dirinya sendiri dan Tuhannya. Hal ini sebagaimana telah tertuang ke dalam puisinya yang berjudul SEBAGAI PENYAIR yang beliau tulis pada 27 Juli 2016 di Sekarputih. Demikian kuat Eko Windarto menggauli dunia kepenyairan dengan cara pandangnya yang juga begitu kuat sebagai jiwa penyair yang dia jiwai.
Berikut ini adalah puisi sebagai penggambaran fenomena kehidupan yang terjadi di sekitarnya, dalam pandangannya, juga dari yang dia baca dan dengar baik secara langsung maupun melalui media yeng tergelar secara bebas di hadapannya. Eko Windarto merasakan betapa fenomena tersebut begitu kuat membuat masyarakat jadi terombang-ambing bahkan terpecah-belah.
DI SINI
di sini, pertarungan agama-agama mengundang pedang
merupakan bayang-bayang yang kau tebang
di sini, tujuan hidup kau tutup dengan dalil-dalil panjang mengambang
sebelum mengenal tembang surga yang kau jelang
di sini, pengembara bahasa sibuta meraba-raba
mencari kemenangan rasa yang tak kunjung tiba
di sini, kekalahan dan luka
menjadi puisi pusat upacara muara sukma
hitam putih menjadi kebutaan sehari-hari
sebagai tradisi melupakan hati sendiri
wahai... terang mentari mayang
sirnakan kebutaan, sirnakan kegelapan, dari langit hati yang paling gamang
Batu, 29122017
Dari judul puisi tersebut, yaitu DI SINI telah kita ketahui bahwa Eko Windarto sedang ingin menyampaikan sesuatu yang terjadi di sini (di kota Batu, di Jawa Timur, di Indonesia, bahkan bisa juga di dunia ini). Kata yang menunjukkan tempat yang begitu dekat dengan dirinya sendirilah telah terjadi dan tampak fenomena yang kemudian selalu dia pertegas dengan menghadirkan kata tersebut ke dalam larik-larik puisinya.
di sini, pertarungan agama-agama mengundang pedang
merupakan bayang-bayang yang kau tebang
di sini, tujuan hidup kau tutup dengan dalil-dalil panjang mengambang
sebelum mengenal tembang surga yang kau jelang
Fenomena inilah kemudian yang beliau hadirkan ke dalam larik ke-1 hingga larik ke- 4 puisinya, yaitu pertarungan agama-agama. Saat ini, di sini yang dia tunjukkan sebagai tempat yang bisa kita maknai khusus dapat pula kita maknai secara universal pertarungan agama-agama tengah terjadi. Kejadian pertarungan tersebut dari yang begitu nyata dan terang-terangan sebagaimana terjadi di Palestina hingga yang begitu terselubung dengan menyebarkan isu-isu di seputar pemilihan kepala daerah di negeri kita ini pun terjadi. Pertarungan ini mengundang pedang maksudnya adalah menimbulkan pertarungan secara fisik hingga menimbulkan korban jiwa hingga pertarungan adu mulut atau komentar hingga mulut tersebut mampu menebas kebenaran yang sesungguhnya menjadi sebuah fitnah yang menjatuhkan nama baik seseorang juga membahayakan kehidupan orang lain.
Fenomena agama merupakan fenomena universal manusia. Walaupun peristiwa perubahan sosial telah mengubah orientasi dan makna agama, hal itu tidak berhasil meniadakan eksistensi agama dalam masyarakat, sehingga kajian tentang agama selalu akan terus berkembang dan menjadi kajian yang penting.
Tujuan hidup menjadi kehilangan arah sebagaimana tergambar pada larik ke-3. Pada larik inilah jelas tergambar fenomena tersebut menjadikan skeptisisme (keragu-raguan) dalam menentukan arah hidup dengan penggunaan kata ‘mengambang’ ke dalam puisi. Kemudian dilanjutkan dengan penggambaran tentang skeptisisme ini akan terus-menerus terjadi selama fenomena tersebut masih terus terjadi hingga akhirnya kematian atau kemusnahan manusia di muka bumi. Atau jika pada akhirnya manusia mau kembali mempelajari, memahami, dam melaksanakan ajaran yang tertuang di dalam ayat-ayat Allah dan sunnah Rasulullah kemudian dijadikan sebagai penuntun arah kehidupan untuk menggapai syurgaNya.
Pada larik ke-5-6 jiwa kepenyairan Eko Windarto kemudian bersuara. Dia sebagai penyair pun ikut menjadi salah seorang yang kebingungan menemukan jalan kebenaran dan tujuan hidup.
di sini, pengembara bahasa sibuta meraba-raba
mencari kemenangan rasa yang tak kunjung tiba
Sebagai pengembara bahasa Eko Windarto yang senantiasa bergelut dengan kaat-kata pun mengalami imbas dari fenomena yang terjadi di sini. Dia juga terus meraba-raba, mencari dan mencari kebenaran yang sejati dalam jiwanya yang terus dia bersihkan walaupun belum kunjung tiba kebenaran hakiki tersebut dia temukan.
di sini, kekalahan dan luka
menjadi puisi pusat upacara muara sukma
Lalu di tempatnya berpijak, dalam kerancuan hidup, keragu-raguan, kekalahan-kekalahan dan luka pun dia rasakan. Kekalahan dan luka dalam perjalanan hidup terus dia tuliskan ke dalam puisi sebagai ungkapan isi hati dan pikirannya yang terdalam.
hitam putih menjadi kebutaan sehari-hari
sebagai tradisi melupakan hati sendiri
Sampai di larik puisi ke-9-10 semakin jelas tergambarnya skeptisisme tersebut. Jalan benar atau salah, syurga atau neraka menjadi begitu sulit untuk dibedakan keduanya begitu tipis setipis kulit ari. Hati nurani tidak lagi menjadi tempat terdalam dalam menentukan jalan kebenaran. Suara hati tak lagi didengarkan. Kebenaran dan kesalahan semakin membingungkan mana yang harus di pilih padahal sesungguhnya hati tetap mampu menemukan jalan kebenaran itu sendiri karena hati tempat terdiamnya qolbu manusia. Di qolbulah segala tanya bermuara dan di sanalah suara kebenaran tetap terdengar.
wahai... terang mentari mayang
sirnakan kebutaan, sirnakan kegelapan, dari langit hati yang paling gamang
Akhirnya dengan panggilan yang begitu merdu kepada Tuhan penyair merayu penuh kesyahduan agar ditunjukkan jalan hidup yang terang. Ia terus merayu untuk dibukakan jalan terang agar terbebas dari kegelapan dan kebutaan hati. Keraguan-keraguan dan kegamangan-kegamangan dia adukan dia simpuhkan ke hadapan Tuhan agar ditunjukkan kebenaran sesungguhnya. Di dalam skeptisime hidup, hanya Tuhan yang memiliki kuasa untuk menerangkannya dengan kepasrahan dan keberserahan diri terhadap Tuhan dan ayat-ayat Tuhan sebagai pedoman dan penuntunnya menyusuri jalan hidup dengan benar.
Demikianlah telaah puisi ini, semoga bermanfaat.
Komentar
Posting Komentar