Mengaca Cermin Pusai Eko Windarto
Oleh: Sugiono Mpp
Tulisan ini adalah jawaban dari permintaan penyair-esais Eko Windarto atas pusainya yang diposting di laman grup fb Galeri Pusai pada 17 Agustus 2018, berjudul Cermin. Saya merespons positif karena tiga alasan. Pertama, Eko adalah salah seorang editor di grup tersebut (di samping pusais Bani Hasyim Alpharexcztha dan Ghouts Misra). Kedua, pusainya layak mendapat catatan. Dan ketiga, nama pusai (puisi bonsai) itu saya yang mencetuskan sebagai bagian dari upaya mengeksplorasi kekhasan sastra Indonesia dari galian warisan budaya yang merupakan khazanah kekayaan kearifan tradisi sastra Nusantara dan kita kemas sebagai sajian jawaban sastra global pada era masa depan.
Berbeda dengan puisi-puisi pendek Negeri Bunga Sakura seperti waka (tanka, choka, sedako, katauta, bussokusekika), haiku, senryu, renga, yang dibatasi oleh baris dan suku kata bahkan jumlah aksara, pusai lebih bebas. Tak ada bentuk batasan seperti puisi-puisi Arab (nazam, syi’r), Cina (kanshi), Italia (soneta), bahkan juga seperti pantun, gurindam, talibun, sanepo, moncopat -- untuk menyebut beberapa jenis dalam khazanah kesastraan lama Nusantara.
Pusai tidak diikat oleh kaidah baku seperti bentuk puisi lama yang tersebut di atas. Kenapa? Sebagai bentuk ekspresi masa depan yang bebas-terbuka-mengglobal menjamah ruang dan waktu, pusai boleh dibilang bebas dan liar namun tetap terstruktur sebagai puisi, sebab memang puisi yang mutlak harus memiliki kaidah puitika (estetis, ritmis, kompositif, harmonis karena presisi unsur-unsurnya – yang tidak bisa dijabarkan secara eksakta sebab berkaitan dengan rasa dan jiwa). Karena bentuk komunikasi dalam kehidupan kultur/peradaban masa depan yang lebih praktis, pragmatis, realistis, dan mutlak cerdas, maka pusai harua hemat kata sarat makna, mengurai mengentaskan masalah. Saya mengguritkannya sebagai berikut:
PUSAI
keindahan dan keheningan
Sedangkan penyair Bani Hasyim Alpharexcztha menuliskannya:
PUSAI
pesan kehidupan
berupa puisi
serupa bonsai
Sementara seniman multitalenta dan pencermat kehidupan, Erry Amanda, menyatakan, “Denotasi bonsai secara sederhana: mampu bertahan ratusan tahun. Bentuk sangat indah, terjaga harmoni antara keindahan daun dan bentuk ranting, cabang serta pohon itu sendiri. Jauh lebih mahal dibanding flora asli. Misalnya bonsai pohon asem yang sudah berbuah dengan umur 50 tahun harganya mencapai ratusan juta rupiah. Tampak klasik namun bisa mengikuti jaman apa saja, atau mampu bertahan hidup pada semua jaman. Jika ini ditarik ke filosofi dunia sastra, puisi, sangat tidak mudah. Jauh lebih rumit dibanding haiku dan sejenisnya”.
Dengan hantaran itu kini mari kita sapa pusai Eko Windarto:
CERMIN
Semua terlihat
Batu, 1782018
Singkat. Hemat kata. Padat. Sarat makna. Siapa pun tahu cermin. Kaca yang dipermukaan belakang berlapis almunium tipis (back silvered). Piranti ini digunakan untuk melihat wajah atau apa pun yang tampak karena pantulan cahaya. Dalam kosakata kias kita kenal misalnya: cermin kehidupan, cermin budaya, cermin peradaban, cermin kepribadian, dan sebagainya. Jadi kata pilihan yang digunakan pada judul (tema) yang diusung dipetik dari perbendaharaan kosa umum yang mudah dipahami, dicerna, dan tidak perlu dipikir sampai mengerutkan jidat nuntuk menangkap artinya. Begitu pun kosakata yang digunakan pada isi (semua terlihat) adalah klausa yang tak perlu ditebak-tebak. Tiga kata yang digunakan dalam judul dan isi merupakan kesatuan integral dan benar-benar efesien. Ini memenuhi syarat sebagai pusai yang dituntut hemat kata.
Akan tetapi, apakah sarat makna? Nah mari kita telusur makna yang terkandung dalam susunan integral klausa tiga kata itu. Pemusai dendak menyampaikan fenomena dan realitas kehidupan bahwa lewat cermin semuanya bisa terlihat. Maka bercermin (diri)lah sebelum bertindak, sehingga tidak berbuat gegabah, melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan kapasitas dan realitas. Masalahnya, tentu saja, cerminnya harus normal. Bukan lengkung atau cembung, bakan bukan retak (tiba-tiba saya teringat cerpen sastrawan Gerson Poyk yang dimuat di majalah Horison berjudul Cermin Retak, percakapan tentang kemerdekaan dengan pemangkas rambut di bawah pohon pinggir jalan, yang ternyata adalah mantan pejuang kemerdekaan yang tersiakan kehidupannya). Tidak hanya cerminnya yang harus normal, tapi mata yang melihatnya, yang menangkap refleksi cermin normal datar itu, harus normal pula dan tidak menggunakan kaca mata.
Jika kita tarik ke dunia literasi gawai, maka Eko akan bicara, “Wahai para penulis pemula, tulisanmu, puisimu di laman gawai adalah cermin dirimu. Di situ kapasitasmu terlihat secara transparan bagi mata normal yang sehat seorang sastrawan. Maka berhati-hatilah kalian sebelum memosting karya karena akan berimbas pada penilaian atas kepribadianmu.” Nah, saya umpamakan seperti itu karena korelasinya dengan luahan literasi gawai yang luar biasa bahkan cenderung fantastis. Ada sisi positif bagi pegembangan sastra tapi ada juga sisi sebaliknya. Terpulang pada arah pengembangan dan arus yang menderus.
Cermin itu juga bisa berkonotasi cermin ketatanegaraan, cermin kehidupan sosial kemasyarakatan kita, cermin kebangsaan (selagi meperingati 73 tahun RI), cermin peradaban umat manusia, dan yang lebih global unversal lagi. Sedangkan urai-entasan masalah, sudah saya utarakan, bercermin dululah sebelum bertindak. Atau berancang-ancanglah sebelum melangkah sesuai cerminanmu. Secara kebetulan saya pun mengurai-entaskan masalah yang sama dalam ekspresi pusai yang berbeda, seperti ini:
ANCANG
bacalah letakmu
di peta peradaban
Bogor, 170818
Komentar
Posting Komentar