Memahami Kolonialisme Digital: Penjajahan Baru di Era Informasi

Memahami Kolonialisme Digital: Penjajahan Baru di Era Informasi

Oleh: Eko Windarto 


Di era digital saat ini, konsep kolonialisme mengalami transformasi yang sangat signifikan. Dulu, penjajahan identik dengan kedatangan kapal-kapal asing yang merebut rempah-rempah, emas, dan tanah kekayaan suatu bangsa. Namun, kini penjajahan hadir dalam bentuk yang jauh lebih halus namun tidak kalah berbahaya: kolonialisme digital. Istilah ini merujuk pada praktik di mana kekuatan-kekuatan besar—biasanya perusahaan teknologi raksasa global—menguasai infrastruktur digital, data, dan pengaliran informasi di seluruh dunia, termasuk negara-negara berkembang, tanpa kontrol demokratis yang jelas.

Dari Rempah ke Data: Dimensi Baru Penjajahan

Jika pada masa lalu kolonialis mengambil sumber daya alam dengan paksa, kini mereka merebut sumber daya baru berupa data dan perhatian manusia. Data ini menjadi “emas baru” dalam dunia modern. Setiap klik, pencarian, unggahan, dan interaksi di dunia maya memberikan nilai ekonomi yang sangat besar melalui pemrosesan algoritma dan pemasaran digital. Perusahaan seperti Google, Meta (Facebook), Amazon, dan lainnya bukan sekadar platform teknologi yang memfasilitasi interaksi, tapi sudah menjelma menjadi "penguasa infrastruktur publik" yang sesungguhnya.

Kehadiran mereka tidak hanya memegang kunci distribusi informasi, tetapi juga mengendalikan harga perhatian dan aliran pendapatan iklan yang menjadi tumpuan finansial utama sejumlah media dan publisher lokal. Hal ini menimbulkan ketimpangan baru, di mana kontrol atas informasi dan distribusi nilai ekonomi sangat timpang, menyebabkan publisher lokal seolah menjadi “buruh digital” di tambang algoritma yang dikuasai korporasi besar.

Publisher Lokal dalam Cengkraman Sistem Algoritma

Media lokal dan publisher di seluruh dunia kini menghadapi tantangan serius akibat dominasi platform global dalam ruang digital. Mereka memproduksi konten yang menarik perhatian masyarakat, namun nilai ekonomi dari konten tersebut tidak kembali sepenuhnya kepada mereka. Algoritma mesin pencari dan media sosial memanfaatkan konten yang dibuat oleh publisher untuk menarik perhatian pengguna, kemudian menyalurkan iklan ke platform tersebut dengan nilai yang dikontrol oleh perusahaan iklan raksasa.

Iklan kini tidak tampil seperti dulu, berjajar di halaman depan koran atau majalah. Sistem perdagangan iklan telah berubah menjadi proses lelang otomatis secara real-time, di mana iklan dibeli dan dijual secara dinamis di “slot iklan” yang telah disediakan. Yang diperjualbelikan bukan lagi konten editorial yang penuh nilai jurnalistik, melainkan ruang kosong pada layar pengguna yang kemudian diisi iklan secara seketika dengan harga dan kondisi yang tidak transparan.

Pasar Iklan Digital: Kompleks dan Tidak Transparan

Seperti yang diungkapkan Claire, pasar iklan digital ini memiliki kemiripan dengan pasar sekuritas yang mengalami krisis pada tahun 2008. Pasar ini kompleks, melibatkan banyak perantara teknologi periklanan seperti SSP (supply side platform), DSP (demand side platform), serta berbagai aktor dalam ekosistem periklanan yang mengambil margin keuntungan di sepanjang rantai, tanpa transparansi yang jelas. Hal ini tidak hanya merugikan pengiklan yang membayar, tapi juga membuat publisher kehilangan potensi pendapatan langsung dari hasil karya mereka.

Akibatnya, publisher lokal berada dalam posisi yang sangat rentan. Mereka harus mengikuti aturan dan algoritma dari platform global jika ingin tetap eksis, namun tidak memiliki kekuatan tawar yang seimbang. Pendapatan iklan yang mereka dapatkan sering kali jauh lebih kecil dibanding nilai ekonomi yang dihasilkan oleh data dan atensi yang mereka berikan. Ini merupakan bentuk baru dari eksploitasi yang kerap disebut sebagai “ekstraksi nilai digital”.

Kolonialisme Digital dan Implikasinya terhadap Demokrasi dan Kedaulatan Informasi

Lebih dari sekadar persoalan ekonomi, kolonialisme digital juga memiliki implikasi serius terhadap demokrasi dan kedaulatan informasi. Dengan dominasi platform global, kontrol atas arus informasi dan narasi publik juga berpusat pada pihak-pihak yang tidak dipilih secara demokratis oleh masyarakat lokal. Hal ini membuka celah bagi monopoli informasi dan manipulasi persepsi publik, yang dapat melemahkan kontrol rakyat terhadap ruang publik dan kebebasan berekspresi.

Situasi ini menjadi tantangan besar bagi negara-negara untuk mempertahankan kedaulatan digitalnya. Mereka harus berhadapan dengan kekuatan teknologi yang sangat besar dan terintegrasi secara global, sementara kapasitas regulasi nasional sering kali tertinggal. Regulasi yang ada di banyak negara belum mampu mengimbangi lincahnya pasar digital yang melintasi batas-batas geografis.

Upaya Menanggulangi Kolonialisme Digital

Untuk menghadapi kolonialisme digital, diperlukan strategi yang komprehensif dan kolaboratif, melibatkan berbagai pemangku kepentingan mulai dari pemerintah, pelaku industri teknologi lokal, hingga masyarakat sipil. Beberapa langkah yang dapat diambil antara lain:

Penguatan Regulasi dan Kebijakan Digital: Pemerintah perlu memperkuat regulasi yang mengatur platform digital, termasuk transparansi algoritma, distribusi hasil iklan, serta perlindungan data masyarakat.

Pengembangan Ekosistem Teknologi Lokal: Mendorong inovasi dan investasi pada platform teknologi lokal agar tidak sepenuhnya tergantung pada platform global.

Literasi Digital untuk Masyarakat: Meningkatkan literasi digital agar masyarakat lebih kritis dan cerdas dalam mengakses dan menyebarkan informasi online.

Kerjasama Internasional: Membangun koalisi antarnegara untuk mengatur dan mengawasi pasar digital global sekaligus melindungi kepentingan negara berkembang.

Kesimpulan

Kolonialisme digital adalah fenomena modern yang merefleksikan ulang bentuk penjajahan lama dalam konteks ekonomi dan teknologi digital. Dengan kontrol penuh atas infrastruktur informasi dan iklan digital, perusahaan global bertransformasi menjadi penjajah data dan atensi pengguna yang tidak hanya menguras ekonomi lokal tapi juga mempengaruhi kedaulatan informasi dan demokrasi. Kesadaran serta aksi kolektif diperlukan untuk menghadapi tantangan ini agar teknologi dapat menjadi alat pemberdayaan, bukan alat penjajahan baru di abad ke-21.

Batu, 1272025

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Program Makan Bergizi Gratis Meluncur di Kabupaten Malang

Diduga Gelapkan Uang, Developer Perumahan di Kota Batu Dilaporkan User ke Polisi

Ajak Masyarakat Hidup Sehat, Wisata Lembah Dali Adakan Senam Bersama dan Lomba Senam Pica-PicaOleh: Eko Windarto