Kenapa Investor Asing Enggan Masuk Kahona?
Oleh: Eko Windarto
Ada satu hal yang jarang kita temui di republik Kahona ini: pejabat yang berani jujur. Maka, ketika Wakil Kepala BKPM dengan gamblang mengakui bahwa investor asing enggan masuk karena proses perizinan yang lambat, kita patut memberi apresiasi. Bukan karena masalahnya baru—sebab keluhan ini sudah terdengar berulang kali sejak dulu kala—melainkan karena kali ini pejabat berani menyebut terang-terangan bahwa pemerintahannya sendiri justru menjadi penghambat.
Ironis, bukan? Pemerintah yang setiap hari berteriak “pro investasi” malah menciptakan labirin birokrasi yang membingungkan. Seolah-olah investor sedang mengikuti acara realitas bertajuk “Siapa Paling Sabar Bertahan”, dimana hanya yang bersabar hingga ujung proseslah yang diperbolehkan masuk. Jika investor global bisa menanamkan miliaran dolar dengan cepat di New York atau Singapura, di Kahona mereka harus bersabar berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, dihadapkan pada tumpukan tanda tangan basah, fotokopi KTP, materai, dan—tak jarang—senyum tipis calo berlisensi.
Inilah wajah nyata sebuah pemerintahan yang masih bermental “low grade”: regulasi yang seharusnya menjadi pelicin justru berubah menjadi pasir yang menggores mesin investasi.
Aturan dibuat bukan demi kepastian hukum, melainkan untuk membangun pos-pos pemeriksaan tempat rente bisa dipungut. Investor asing bukan takut dengan risiko bisnis—mereka sudah terbiasa menghadapi volatilitas pasar. Yang mereka tak bisa kompromikan adalah ketidakpastian birokrasi: hari ini boleh, besok dilarang; hari ini cepat, besok macet; semua bergantung pada siapa yang memegang kursi tanda tangan.
Dilema Pintu Masuk Investasi di Kahona
Apa akibatnya? Indonesia sering kali membanggakan angka Produk Domestik Bruto (PDB) yang besar, demografi yang muda dan dinamis, serta potensi sumber daya alam yang melimpah. Namun ketika investor berani masuk, mereka justru keluar lagi sambil menggelengkan kepala. Bukan karena pasar kita kecil atau kurang menarik, tetapi karena “pintu masuk” yang seharusnya terbuka justru macet total. Pintu itu dibuat sempit dengan sengaja agar ada “penjaga gerbang” yang bisa menentukan siapa yang boleh lewat dan siapa yang harus membayar biaya ekstra.
Situasi ini semakin memunculkan ironi ketika para pejabat dengan mudah mengeluh bahwa investor asing lebih memilih negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, atau Vietnam. Jawaban sebenarnya sangat sederhana: negara-negara tersebut membuat regulasi yang memudahkan, sementara di Indonesia regulasi justru dipakai sebagai alat memperdagangkan izin dan memperlambat proses.
Birokrasi yang Berbelit, Modal Mengalir ke Luar
Proses perizinan yang panjang dan rumit menjadi bom waktu yang setiap saat bisa meledak dan menunda masuknya modal. Investor, khususnya asing, sangat menghargai kepastian dan transparansi. Mereka butuh aturan yang jelas dan konsisten agar bisa membuat keputusan bisnis secara cepat. Birokrasi yang berbelit dan inkonsistensi regulasi menciptakan risiko non-teknis yang justru lebih menakutkan dibanding risiko pasar itu sendiri.
Kita bisa mencontoh negara-negara lain di kawasan ASEAN yang kini bersaing ketat memperebutkan investasi. Singapura terus mempermudah regulasi, Vietnam melakukan reformasi hukum secara progresif, dan Malaysia menyediakan insentif yang kompetitif. Akibatnya, dana-dana besar pun mengalir ke negara-negara ini, sementara Indonesia kerap tertinggal meski memiliki potensi yang jauh lebih besar.
Haruskah Kita Bersemangat dengan Pengakuan Pejabat?
Terlepas dari kebijakan yang ada, pengakuan pejabat BKPM ini layak diapresiasi sebagai langkah awal. Kejujuran mereka menjadi oase di tengah wacana yang selama ini cenderung dipenuhi dengan retorika dan penutupan masalah. Namun, pertanyaan besar tetap ada: apakah pengakuan ini akan diikuti dengan reformasi nyata yang berani dan tuntas? Atau hanya akan menjadi headline sesaat yang tenggelam oleh drama politik berikutnya?
Kita butuh reformasi perizinan yang tidak sekadar kosmetik, tapi revolusioner. Sistem perizinan harus dibuat digital, transparan, dan terintegrasi, menghilangkan titik-titik rawan praktik korupsi dan kolusi. Penggunaan teknologi bisa memperpendek waktu pengurusan dari berminggu-minggu menjadi hitungan jam atau bahkan menit. Selain itu, harus ada penalti serius bagi birokrat yang menunda proses tanpa alasan yang jelas.
Membangun Kredibilitas Pemerintahan untuk Investasi
Kredibilitas sebuah pemerintahan tidak hanya diukur dari janji dan slogan, tapi dari implementasi kebijakan yang konsisten dan berpihak pada kepastian hukum. Investor asing cerdas; mereka bukan hanya menilai potensi pasar, tetapi juga menilai bagaimana peraturan ditegakkan dan birokrasi dijalankan. Mereka membutuhkan lingkungan yang kondusif untuk bisnis, bukan jebakan yang menguras waktu dan biaya.
Jika Kahona terus mempertahankan sistem perizinan yang bermasalah, jangan heran jika negara ini hanya menjadi etalase potensi tanpa pernah benar-benar menjadi rumah bagi modal dunia. Potensi besar tanpa eksekusi yang tepat hanyalah angan-angan kosong.
Penutup
Pengakuan dari Wakil Kepala BKPM adalah cermin jujur tentang tantangan nyata yang dihadapi Indonesia dalam menarik investasi asing. Ini adalah awal yang baik, tetapi tentu bukan akhir. Reformasi perizinan harus menjadi agenda utama yang mendapat perhatian serius semua pihak, bukan sekadar alat jualan politik.
Kita perlu berani menghilangkan lapisan-lapisan birokrasi yang tidak perlu, membuka pintu investasi seluas-luasnya, dan menghadirkan aturan yang adil, transparan, dan cepat. Hanya dengan cara itu, Kahona bisa benar-benar bertransformasi menjadi destinasi investasi yang kompetitif dan dipercaya di mata dunia.
Jadi, jangan hanya mengucapkan terima kasih pada pejabat yang jujur, mari dukung mereka dengan menuntut perubahan nyata. Karena industri investasi bukan soal sabar menunggu, melainkan soal kecepatan mengambil kesempatan. Jika pintu terus tertutup rapat, maka jangan harap modal besar akan mampir, apalagi menetap di tanah air kita tercinta.
***
Komentar
Posting Komentar