Santri dan Sastra: Harmoni Kalimat Suci dalam Jejak
Oleh: Eko Windarto
Setiap tanggal 22 Oktober, dunia pesantren merayakan Hari Santri—sebuah pengakuan negara atas peran insan pondok pesantren yang telah lama mengiringi perjalanan bangsa Indonesia, sebuah perjalanan panjang yang terus berlanjut hingga kini.
Seringkali, masyarakat memandang pondok pesantren hanya sebagai lembaga pembelajaran agama. Padahal, banyak pesantren modern yang merangkul ilmu pengetahuan luas, termasuk penguasaan bahasa asing seperti Arab dan Inggris. Namun, satu aspek yang kerap terlupakan adalah sumbangsih pondok pesantren beserta para santrinya dalam ranah sastra.
Pesantren dan santri telah memainkan peran penting dalam merajut perkembangan sastra Indonesia—melalui puisi, cerita pendek, novel, bahkan kajian sastra yang mendalam. Sejarah sastra Nusantara tercatat dengan nama-nama santri yang menjadi pelopor dan penggebornya.
Di antara para sastrawan besar itu, berdiri tegak sosok KH D. Zawawi Imron, sang “Celurit Emas” dari Sumenep, Madura. Puisinya berkelas tinggi, penuh magis bahasa dan keindahan makna, menggugah jiwa para pembaca.
Tak kalah gemilang adalah KH Mustofa Bisri, yang lebih akrab disapa Gus Mus, pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin di Rembang, Jawa Tengah. Puisinya berani menyinggung, termasuk diksi yang menggelitik, menyuntikkan kesegaran dalam tradisi sastra.
Tak bisa dilepaskan pula sosok Emha Ainun Najib atau Cak Nun, budayawan besar asal Pondok Pesantren Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Karyanya melintasi batas puisi menjadi lantunan shalawat yang merasuk ke jiwa, sebuah harmoni antara seni dan spiritualitas.
Jejak sastra pesantren juga hadir dalam diri Acep Zamzam Noor, penyair asal Tasikmalaya yang tumbuh besar di lingkungan pesantren Cipasung. Ayahnya, KH Muhammad Ilyas Ruhiat, adalah seorang kiai dan Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang turut mewariskan tradisi intelektual dan spiritual.
Generasi muda pun tak kalah bersinar. Jamal D Rahman, alumnus Pondok Pesantren Al Amin, Prenduan, Sumenep, Madura, dengan puisi dan esainya yang mengkritisi dunia sastra, menegaskan bahwa santri tetap menjadi sumber inspirasi.
Ahmad Fuadi, alumni Pondok Pesantren Darussalam Gontor, mengisi dunia sastra dengan novel-novelnya yang sarat inspirasi dan kekayaan nilai.
Di balik panggung besar sastra nasional, masih banyak sastrawan kecil yang lahir dan dibentuk oleh pondok pesantren—mereka yang turut mewarnai dan menghidupkan sastra mutakhir di Indonesia.
Antara sastra dan santri, ternyata ada ikatan erat yang tak bisa dipisahkan. Bagi KH D. Zawawi Imron, sastra sejatinya adalah milik pesantren dan kaum santri. Namun, pernyataan ini bukanlah bentuk eksklusivitas, melainkan pengakuan kerendahan hati terhadap kontribusi para sastrawan lain dari berbagai latar belakang.
Menariknya, kata “santri” sendiri bukan berasal dari bahasa Arab seperti yang umum diasumsikan, melainkan dari bahasa Sanskerta, yakni “sastri” yang berarti orang yang belajar kalimat suci atau kalimat indah—sebuah cermin sempurna bagi hubungan antara santri dan sastra.
Hari Santri bukan sekadar perayaan, melainkan penghormatan atas perjalanan ruhani dan intelektual para santri yang mewariskan tradisi, menganyam keberagaman, serta memperkaya khazanah sastra Indonesia dengan warna dan suara khas pesantren.
Dari bait-bait puisi hingga kata-kata dalam novel, pesantren hadir sebagai ladang subur bagi tumbuhnya karya-karya yang memancarkan cahaya keindahan dan kebijaksanaan.
Dalam hening malam, gema kata santri melintas dari masa ke masa, mengingatkan kita bahwa sastra adalah nafas pesantren dan pesantren adalah jantung kehidupan sastra. Di situlah terletak sebuah kesinambungan budaya, sebuah pesan abadi yang terus hidup, mengalir dalam setiap helai kalimat yang menembus zaman.
Batu, 21102025
Komentar
Posting Komentar