Serat Jatiswara dalam Lensa Empati Modern: Inspirasi Christina Budi Probowati

Oleh: Eko Windarto 

Sastra, dalam dimensi paling murninya, adalah denyut yang mengalir tiada henti dalam perjalanan umat manusia, menyimpan dan menyalakan cahaya dari ingatan kolektif budaya. Dalam lingkup sastra Jawa klasik, Serat Jatiswara berdiri bagai mercusuar historis yang menuntun kita menelusuri lorong waktu, menyambungkan arus tradisi dengan narasi modernitas yang terus bergulir.

Keabadian Serat Jatiswara tidak berhenti pada masa lampau, melainkan merambat hingga ke dunia puisi kontemporer melalui karya Christina Budi Probowati. Puisinya, "Kemarin Pagi Ada yang Terlambat Bersinar", mewakili jungkir balik emosi dan pencarian makna di dunia yang rentan mengalami kebekuan jiwa dan kerasnya realita.

Kemarin Pagi Ada yang Terlambat Bersinar

Karya: Christina Budi Probowati

Kemarin pagi ada yang terlambat bersinar
Hingga membuat kata-kata yang kutulis menjadi beku
Oh sayang, jangan biarkan aku duduk dalam gelisah...
Menyaksikan napas dari setiap kata yang kutulis tak lagi berembus...
Tanpa denyut kehidupan, bagaimanakah nasibnya?
Haruskah aku menghentikan tarian penaku?
Yang sedang begitu gemulainya mempersembahkan sajak cinta?
Jika memang tak ada yang mampu menghidupkan makna di balik kata yang kutulis itu...
Oleh karena dinginnya udara pagi yang telah membekukan segalanya...
Maka, biarlah aku sendiri yang memeluk kata demi kata, di akhir kehidupannya...

Tetapi, ternyata bukan kata-kataku saja yang beku kemarin pagi
Badanku pun tiba-tiba menggigil di dalam sepi
Oh sayang, udara memang mendadak dingin sekali
Menerobos masuk ke dalam pori-pori kulit ini dengan tanpa permisi
Melesap hingga ke relung hati...
Membuat tangan ini tak mampu menggerakkan pena lagi
Dan aku hanya bisa beralih menikmati kopi hangat, yang juga telah menjadi dingin...
Ya, hujan semalam benar-benar meninabobokan sang penghangat ibu pertiwi
Membuatnya pasrah dalam buaian ritmis air hujan nan romantis...
Lelap tertidur dalam selimut semesta...

Andai kemarin pagi sinar mentari tak terlambat datang
Semua yang beku pasti akan mencair sebelum kematiannya
Menghangatkan dinginnya hatiku yang juga merana dalam senyap...
Tatkala memeluk erat setiap kata yang terjebak di dalam kebekuan makna...
Dengan harapan agar ia dapat kembali hidup setelah kematiannya...
Dan meski asaku bak sehelai rambut dibelah menjadi tujuh
Tak kuputuskan doaku kepada Sang Hyang Manon...
Agar penaku dapat terus menari-nari pada lembaran ruang dan waktu...
Menggubah kembali sajak cinta yang sempat terhenti dan mati...
Untuk kembali bersinar bersama mentari pagi ini...

Kemarin pagi memang ada yang terlambat bersinar
Hingga membuat kata-kata yang kutulis menjadi beku
Oh sayang, entah berapa lama aku duduk dalam gelisah di ujung malam...
Sampai kusadari yang bisa kulakukan hanyalah bersabar dalam ketabahan...
Merelakan setiap makna kata menjalankan takdir kehidupannya...
Dan memang tak patutlah aku mengeluh...
Apalagi saat kugenggam secangkir kopi penuh cerita seraya bersandar di bahumu..
Maka, biarlah ketetapanNYA saja yang terjadi...
Akan kunikmati momen ini tanpa mencemaskan tentang apa pun lagi...
Karena puncak syukurku adalah hari ini...
Bukan kemarin pagi...

Bandungan, 22 September 2025

Puisi tersebut bukan sekadar ungkapan kesedihan atau kegelisahan, melainkan sebuah monolog batin yang dalam, yang menggambarkan bagaimana manusia mengalami fragmentasi kata dan cinta dalam dimensi waktu. Christina membangun jembatan halus yang menghubungkan kearifan kuno dengan kegelisahan modern, menyadarkan kita pada tugas abadi menyalakan kembali nyala budaya dan sastra yang terbungkam.

Dalam larik puisinya, tersirat bahwa keheningan dan kejatuhan kata-kata yang beku dapat pula dihangatkan oleh berkat kesabaran, doa, dan cinta. Sebuah refleksi spiritual yang resonan dengan filosofi Jawa, di mana penyerahan kepada "Sang Hyang Manon" mengajarkan kita bahwa segala yang terjadi adalah bagian dari perjalanan eksistensial yang perlu disikapi dengan lapang dada.

Harmoni Kalkulasi dan Intuisi: Meresapi Makna Melalui Puisi dan Serat

Mengupas Serat Jatiswara dan puisi Christina secara bersamaan memungkinkan kita memasuki lapisan kesadaran yang lebih dalam, yakni harmonisasi antara perhitungan budaya—yang terwakili oleh naskah-naskah klasik—dengan intuisi dan respons pribadi seorang penyair modern.

Serat Jatiswara dengan ragam versinya adalah citra kolektif budaya Jawa, sementara puisi Christina mewakili pandangan individual sekaligus universal manusia modern yang mempertanyakan eksistensi dan relevansi kata-kata di tengah zaman. Hubungan antara keduanya membentuk jaringan dialog yang hidup antara masa lalu dan masa kini, tradisi dan inovasi, serta jiwa rakyat dan suara pencipta puisi.

Sastra Sebagai Jalan Hidup: Menghidupkan Makna di Era Digital

Di tengah derasnya arus modernitas dan digitalisasi, penting bagi kita untuk tidak melupakan nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra tradisional. Serat Jatiswara, dengan segala kompleksitas dan keindahannya, memberikan pelajaran berharga bahwa sastra adalah medium hidup yang terus berubah, namun tetap berakar pada warisan budaya yang abadi.

Menghidupkan kembali makna Serat Jatiswara dalam konteks masa kini berarti memaknai sastra sebagai sarana eksplorasi jati diri, pemahaman sejarah, dan bentuk penghormatan kepada leluhur. Puisi Christina mengingatkan kita bahwa kata-kata bukanlah sekadar simbol, melainkan denyut nadi yang mengalirkan kehidupan bagi jiwa yang haus akan makna.

Sastra Jawa klasik dan modern, dengan alur yang bersambung dan terus bertransformasi, menjadi jembatan bagi generasi penerus untuk mengenali dan menyayangi warisan budaya yang tak ternilai, serta berkontribusi membangun masa depan yang berakar sekaligus terbuka untuk inovasi.

Penutup: Cahaya yang Tak Pernah Padam

Serat Jatiswara adalah cermin peradaban yang berkilau dalam kekayaan budaya Jawa, bukan hanya sebagai teks kuno tapi sebagai nyala api yang tak pernah padam di sanubari manusia yang mencintai bahasa, identitas, dan eksistensi. Dengan memandangnya lewat kacamata masa kini, baik melalui kajian akademis maupun ekspresi artistik kontemporer, kita diberi kesempatan untuk mengisi makna baru, merangkai kembali narasi yang terlupakan, dan mengguratkan kembali sejarah ke dalam denyut kehidupan sehari-hari.

Sastra pada akhirnya bukan hanya jejak sejarah, melainkan juga jalan menuju pencarian abadi: mencari cahaya—yang kadang datang terlambat menyinari pagi kita—namun tetap diyakini akan selalu hadir mengusir segala kebekuan. Seperti yang diungkapkan Christina Budi Probowati, biarlah matahari pagi itu hadir membawa kehangatan, membiarkan kata dan cinta menari kembali, menghidupkan makna dalam setiap helai sajak dan cerita.

Batu, 6102025

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Program Makan Bergizi Gratis Meluncur di Kabupaten Malang

YUA dan OK-OCE Dorong Evaluasi Kinerja Sekda Kota Batu

Ajak Masyarakat Hidup Sehat, Wisata Lembah Dali Adakan Senam Bersama dan Lomba Senam Pica-PicaOleh: Eko Windarto