Surplus Kedunguan di Era Informasi


oleh: Eko Windarto 

Di tengah derasnya arus informasi yang membanjiri kehidupan modern, manusia menghadapi sebuah paradoks epistemologis yang serius: kelimpahan pengetahuan tak otomatis menghasilkan kebijaksanaan; sebaliknya, ia membuka ruang lebih luas bagi kedunguan. Fenomena ini bukan sekadar ironi zaman, melainkan sebuah krisis mendalam yang mengguncang fondasi budaya dan cara manusia memahami dirinya dan dunia.

Stuart Jeffries, dalam karyanya A Short History of Stupidity, menegaskan bahwa kita hidup di era keemasan kedunguan — di mana kebodohan bukan hanya soal kurangnya pengetahuan, melainkan sebuah sikap aktif menolak kompleksitas dan refleksi kritis. Kedunguan berubah menjadi gaya hidup, bahkan identitas politik dan budaya, yang dirayakan lewat algoritma media sosial dan narasi populis.

Krisis Spiritual dan Epistemologi: Pandangan William Chittick

William Chittick, Profesor Emeritus di Departemen Studi Asia dan Asia-Amerika di Stony Brook University, dalam Science of the Cosmos, Science of the Soul: The Pertinence of Islamic Cosmology in the Modern World (2013), menyoroti dimensi spiritual dari krisis ini. Dalam tradisi Islam, pengetahuan bukanlah akumulasi data semata, melainkan jalan menuju pemahaman diri dan Tuhan.

Chittick menegaskan, modernitas menggeser tahqîq (verifikasi spiritual)—sebuah pengetahuan lahir dari kontemplasi mendalam—menjadi taqlîd (peniruan) digital yang mendorong manusia meniru tanpa pemahaman, mengulang tanpa renungan sebenar-benarnya. Surplus informasi justru menjadi ladang subur bagi kedunguan sistemik.

Dia menggambarkan pandangan tradisional Islam mengenai pengetahuan: “Pengetahuan bukan sekadar informasi, melainkan mode keberadaan.” Ketika dunia modern hanya memproduksi informasi tanpa makna, manusia kehilangan jati diri dan keutuhan spiritual.

Masyarakat Jaringan dan Manipulasi Pengetahuan

Manuel Castells, Profesor Emiritus di University of California, Berkeley dan sosiolog komunikasi unggulan, dalam End of Millennium (1998), menjuluki abad ini sebagai era informasi yang bermasalah. Menurut Castells, informasi tidak lagi netral—ia dikonstruksi dalam medan kuasa dan oleh algoritma yang mengatur masyarakat jaringan.

Ketika pengetahuan menjadi komoditas dan kebenaran diukur dari seberapa viral informasi tersebut, kedunguan bukan lagi akibat ketidaktahuan. Sebaliknya, ia menjadi hasil manipulasi sistemik terhadap persepsi dan nalar publik. Algoritma media sosial dan mekanisme digital lain memproduksi kebodohan sebagai budaya terstruktur dan terus dipertahankan.

Dalam perspektif Castells, kedunguan adalah akibat dari politik informasi yang disengaja: kebodohan menjadi produk budaya yang didesain untuk mengatur opini dan mengukuhkan dominasi.

Kehampaan Spiritual dalam Senjakala Kebudayaan

Sementara itu, Reiner Emyot Ointoe dalam Tuhan dan Senjakala Kebudayaan (2025) menawarkan kritik mendalam terkait krisis epistemologi budaya kontemporer. Ointoe menyoroti bagaimana kebudayaan masa kini kehilangan arah transenden, larut dalam relativisme tanpa pijakan, dan terjebak pada konsumsi simbolik yang kosong makna.

Menurut Ointoe, konsep “Tuhan” berubah menjadi metafora yang kabur, sedangkan kebudayaan termarjinalisasi menjadi panggung simulakra—representasi tanpa substansi. Fenomena ini menandai senjakala kebudayaan, di mana kedunguan bukan sekadar masalah intelektual, melainkan kehampaan spiritual yang merayakan absurditas.

Krisis yang diangkat Ointoe memperlihatkan bahwa persoalan utama bukan hanya soal kurangnya pengetahuan, melainkan hilangnya makna dan orientasi hidup manusia secara keseluruhan.

Surplus Kedunguan: Krisis Ontologis di Era Informasi

Surplus kedunguan adalah gejala zaman yang memerlukan refleksi filosofis mendalam. Ia bukan sekadar soal pendidikan atau kemajuan teknologi, melainkan krisis ontologis yang menggugat pengertian kita tentang “menjadi manusia” di tengah kelimpahan informasi.

Ketika pengetahuan gagal mengarah pada kebijaksanaan dan informasi tidak lagi menjadi wahana pemahaman, kita hidup di era di mana kedunguan berubah menjadi norma, bukan pengecualian.

Tantangan dan Harapan: Menemukan Kembali Makna

Dalam konteks ini, tugas filsafat modern dan tradisional bukan hanya sebagai kritik pasif, melainkan sebagai panggilan aktif untuk menghidupkan kembali pencarian makna yang telah lama terlupakan. Kita perlu menemukan akar epistemologi baru yang lebih relevan dan mutakhir, yang tidak hanya menekankan akumulasi data, tetapi juga makna intrinsik, integritas spiritual, dan kecerdasan reflektif.

Ini juga merupakan tugas pendidikan dan teknologi: merancang sistem pembelajaran dan media yang mampu mendorong pemikiran kritis, empati, dan pemahaman mendalam. Antitesis surplus kedunguan bukan sekadar pengendalian informasi, melainkan pembinaan kebijaksanaan kolektif yang mengintegrasikan pengetahuan dan jiwa.

Kesimpulan: Menuju Epistemologi dan Kebijaksanaan Baru

Era digital yang kita jalani memang penuh tantangan, dengan segala lonjakan teknologi informasi dan komunikasi. Namun, masa depan kita bergantung pada kemampuan untuk menangkap esensi pengetahuan sejati, yang melampaui data dan fakta, hingga menjadi kearifan hidup dan pendekatan humanis.

Sebagaimana ditekankan oleh para pemikir besar yang dibahas — Jeffries, Chittick, Castells, dan Ointoe — surplus informasi tanpa makna adalah jalan menuju kemunduran. Sebaliknya, menghidupkan kembali dimensi reflektif, spiritual, dan kritis dalam pengetahuan adalah jalan keluar bagi zaman yang tengah terperangkap dalam surplus kedunguan.

Akhirnya, melawan kedunguan berarti juga membangun kembali keberanian dan kerendahan hati manusia untuk terus bertanya, belajar, dan bermakna dalam dunia yang semakin kompleks ini.

Dengan demikian, surplus kedunguan bukanlah takdir yang tak terelakkan, melainkan tantangan yang memanggil kita untuk kembali mengejar kebijaksanaan di tengah lautan informasi tanpa henti. Kebijaksanaan sejati bukanlah tentang mengetahui segalanya, melainkan memahami apa yang paling berarti.

***

Berikut adalah referensi utama sebagai dasar artikel di atas:

Stuart Jeffries
A Short History of Stupidity (2025)

Buku yang membahas fenomena kebodohan di era modern sebagai bagian dari budaya kontemporer dan kritik terhadap penolakan refleksi kritis.

William Chittick
Science of the Cosmos, Science of the Soul: The Pertinence of Islamic Cosmology in the Modern World (2013)

Karya yang menghubungkan antara pengetahuan, spiritualitas, dan kontemplasi dalam tradisi Islam, serta kritik terhadap modernitas yang memisahkan pengetahuan dari makna spiritual.

Manuel Castells
End of Millennium (1998)

Analisis tentang masyarakat jaringan dan bagaimana informasi dimanipulasi dalam medan kuasa serta pengaruhnya terhadap persepsi publik dan konstruksi kebenaran.

Reiner Emyot Ointoe
Tuhan dan Senjakala Kebudayaan (2025)

Telaah kritis tentang kehampaan spiritual dan kehilangan orientasi transenden dalam kebudayaan kontemporer serta dampaknya terhadap epistemologi dan makna hidup.

Batu, 26102025

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PjS Kades Puncak Jeringo Tegaskan Dana Desa untuk Pembangunan, Bukan untuk Korupsi

Program Makan Bergizi Gratis Meluncur di Kabupaten Malang

YUA dan OK-OCE Dorong Evaluasi Kinerja Sekda Kota Batu