Banjir Bandang Sumatera: Alarm Alam yang Tak Boleh Diabaikan

Sumber foto: ANTARA 

Banjir bandang di Sumatera yang mengeluarkan kayu gelondongan sebesar rumah bukan sekadar “bencana alam”. Ini adalah alam yang sedang berbicara dengan jujur, sementara para pejabat kita sibuk mengatur narasi agar terlihat suci, padahal sebenarnya tangan mereka sendiri yang sudah basah duluan sebelum sungai itu banjir. 

Hutan tak pernah berbohong. Jika ia sampai memuntahkan batang-batang raksasa ke tengah arus, itu hanya satu arti: ada sesuatu yang telah digergaji habis-habisan jauh sebelum hujan deras tiba.

Hutan yang Menangis

Hutan di Sumatera dulu adalah rumah bagi Gajah Sumatera, rumah bagi ratusan spesies flora dan fauna, juga tempat berlangsungnya ritual alam yang sakral. Sekarang? Tinggal peta yang dipenuhi lubang-lubang besar. Dari hampir 83.000 hektar kawasan yang seharusnya menjadi taman nasional, lebih dari 70 persen telah dijarah untuk dijadikan kebun sawit ilegal.

Bukan salah gajah, bukan salah langit, bukan salah hujan. Ini adalah salah manusia — manusia yang menggunakan stempel kekuasaan untuk memberikan “tiket masuk” kepada para perambah.

Bayangkan saja: hutan yang seharusnya lebat, menyerap air, menjaga banjir agar tak meluap, malah dicukur habis sampai botak. Di atasnya ditanam kebun sawit ilegal berjuta-juta batang, dengan jalur truk dan kanal-kanal yang dibuka tanpa izin. Saat hujan turun, tanah yang semula memiliki akar dan daya serap itu berubah menjadi lantai licin tempat air cuma numpang lewat. Aliran deras itu tidak cuma membawa lumpur, tapi juga membawa bukti pembantaian: kayu bulat gelondongan raksasa, yang tidak mungkin muncul dari kawasan yang masih sehat.

Ini bukan pohon tumbang biasa karena angin kencang. Ini adalah sisa-sisa tubuh hutan yang ditebang secara industri. Parahnya, setiap kali banjir datang, pemerintah langsung meminta masyarakat agar “tetap waspada.” Ironis, bukan? Yang seharusnya waspada justru para pejabat yang tanda tangannya dipakai untuk merampas hutan.

Banjir dan Kesaksian Kejahatan Lingkungan

Kasus ini dengan brutal memperlihatkan bahwa bencana banjir bukanlah ketidaksengajaan semata. Ini adalah hasil akumulasi keserakahan yang terus dipelihara. 

Laporan investigasi menunjukkan bagaimana kawasan hutan dilucuti atas nama “pemulihan ekonomi,” “investasi daerah,” atau “memberi ruang bagi masyarakat.” Padahal, pemain utama di balik semua ini adalah perusahaan-perusahaan besar yang menggunakan masyarakat sebagai tameng hidup.

Ketika penggerebekan terjadi, warga yang disalahkan. Ketika ada kebun sawit ilegal, warga juga yang dipertontonkan di foto-foto media. Tapi, siapa pemilik buldoser yang meratakan hutan? Siapa pemilik pabrik minyak sawit (CPO) yang menerima buah dari lahan haram? Dan siapa pejabat yang pura-pura tidak melihat?

Setiap kali air bah membawa batang pohon sebesar itu, sebenarnya alam sedang memberikan laporan audit secara terbuka kepada publik. Ia mengirim pesan: Ini yang telah ditebang selama bertahun-tahun. Ini yang kalian biarkan. Tubuh hutan kalian sedang meluncur lewat aliran banjir. Dan semakin keras upaya pemerintah menutup-nutupi, alam semakin jujur menunjukkan bukti-buktinya.
Sumber foto: ANTARA 

Antara Doa dan Fakta

Kita hidup di negara yang sering sekali meminta rakyatnya untuk “bertakwa” saat terjadi musibah. Padahal, hutan menjadi gundul bukan karena kurang doa, melainkan karena terlalu banyak tanda tangan di atas dokumen perizinan. Gajah Sumatera yang terlunta-lunta bukan karena takdir buruk, melainkan karena dianggap “hama” oleh kebun sawit ilegal yang dilindungi politik dan bisnis.

Sungai yang meluap bukan karena langit sedang marah, melainkan karena bumi dipaksa botak dan kehilangan daya serap. Kalau pejabat bisa jujur seperti hutan, mungkin banjir tidak akan sering sebesar dan sebrutal ini. Hutan selalu memberi tanda setiap kali disakiti. Pejabat, justru sering memberi alasan setiap kali ketahuan.

Dan perbedaan itu jelas: hutan tidak bisa berbohong, sedangkan pejabat sering pura-pura tidak tahu.

Tesso Nilo: Tragedi yang Berulang

Jika hari ini banjir di Sumatera mengeluarkan kayu gelondongan sebesar gaban, jangan sekali-kali menyebut itu sebagai “fenomena alam” semata. Ini adalah bukti nyata kriminal lingkungan yang sudah lama dibiarkan bebas. Ini juga bukti nyata bahwa tragedi Tesso Nilo bukan hanya masalah lokal, tapi adalah alarm nasional yang harus dibangunkan.

Sayangnya, jika alarm seperti ini masih belum didengar dan direspon secara serius, berarti kita sudah terlalu kebisingan oleh omongan pejabat yang lebih sibuk menyelamatkan reputasi mereka daripada menyelamatkan negeri.

Kita semua bisa menutup mata, tapi alam tidak pernah berhenti berbicara. Kayu gelondongan raksasa yang terbawa banjir itu adalah pesan paling keras dan jelas, yang seharusnya menggugah hati semua pihak untuk segera bertindak.

Menempatkan Alam dan Manusia dalam Keseimbangan

Ancaman pengrusakan hutan di Sumatera ini adalah panggilan bangun yang sangat keras. Sudah saatnya kita menempatkan alam bukan sebagai objek eksploitasi, tapi sebagai mitra hidup yang harus dijaga dan dilestarikan. Kesalahan pengelolaan hutan dan lahan sudah jelas membawa dampak kerusakan ekologis yang serius, termasuk meningkatnya bencana banjir dan hilangnya habitat satwa langka.

Pengembangan perkebunan sawit memang berkontribusi terhadap perekonomian, tapi harus dilakukan dengan tata kelola yang berkelanjutan, tidak merusak ekosistem, dan menghormati hak-hak masyarakat adat serta lingkungan. Pemerintah dan perusahaan harus bertanggung jawab atas kerusakan yang terjadi, bukan menyembunyikan fakta dan menyalahkan korban.

Langkah ke Depan: Transparansi, Penegakan Hukum, dan Partisipasi Publik

Solusi agar tragedi yang sama tidak terus terulang adalah pertama-tama pemerintah harus membuka transparansi penuh terhadap kebijakan hutan dan lahan. Pelanggaran izin harus diaudit secara independen dengan melibatkan komunitas lokal, lembaga lingkungan, dan media.

Penegakan hukum yang tegas adalah kunci utama. Pelaku perusakan harus dihukum tanpa pandang bulu, dari oknum kecil sampai pejabat besar. Perambahan hutan ilegal harus dihentikan dan kawasan konservasi benar-benar dijaga fungsinya.

Selain itu, partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam harus didorong. Masyarakat yang tinggal di sekitar hutan harus dilibatkan aktif sebagai penjaga lingkungan. Pengakuan hak-hak masyarakat adat dan pemberdayaan ekonomi berbasis lingkungan jadi langkah demi menyeimbangkan kebutuhan dan konservasi.

Kesimpulan

Banjir bandang yang membawa kayu gelondongan raksasa bukan sekadar cerita musibah biasa. Ia adalah pesan dari alam, panggilan untuk introspeksi dan perubahan. Jika alam berbicara dengan jujur, sudah seharusnya kita mendengar dengan ikhlas dan bertindak dengan benar.

Jangan biarkan alam terus menjadi korban dari kepentingan sesaat yang merugikan generasi mendatang. Mari jadikan bencana sebagai momentum untuk membangun kesadaran kolektif, memperbaiki tata kelola alam, dan menegakkan keadilan sosial lingkungan.

Karena pada akhirnya, menjaga hutan berarti menjaga kita semua.

***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PjS Kades Puncak Jeringo Tegaskan Dana Desa untuk Pembangunan, Bukan untuk Korupsi

Program Makan Bergizi Gratis Meluncur di Kabupaten Malang

YUA dan OK-OCE Dorong Evaluasi Kinerja Sekda Kota Batu