Birokrasi Negeri Kahona Butuh Revolusi: Saatnya Berantas Korupsi dari Dalam
Oleh: Eko Windarto
Kasus terbaru yang diungkap Kementerian Keuangan negeri Kahona bikin heboh! Ternyata, ada bendahara pemerintah yang ngasal banget, motong pajak tapi nggak nyetorin ke kas negara. Waduh, ini sih gambaran paling nyata tentang kondisi birokrasi kita sekarang, bro.
Negara lagi sakit dari dalam, dan lebih parahnya lagi, pelakunya bukan orang sembarangan—bukan rakyat biasa, bukan pengusaha gede, tapi justru bendahara pemerintah sendiri, orang yang dapet gaji buat jagain duit negara. Bayangin, pejabat fiskal yang seharusnya jadi benteng kejujuran malah jadi titik lemah yang bikin semua roboh.
1. Negara yang Lahirin Moral Hazard
Moral hazard itu bukan lahir dari rakyat biasa, tapi dari negara dan pejabatnya sendiri. Sistem yang ngebolehin penyimpangan jadi kayak budaya. Jadi, pas ada bendahara yang memotong pajak terus nggak nyetorin, itu jelas tanda kalau hukum bisa dibeli dan pengawasan cuma jadi pajangan doang. Ini bukan cuma kelalaian teknis, bro, tapi kriminal terang-terangan yang terjadi di kantor pemerintah. Gimana dong negara bisa minta rakyat taat bayar pajak, kalo pejabat fiskal yang mestinya ngejagain malah ngutil duit kita?
2. Meritokrasi Udah Mati, Patronase Justru Jadi Raja
Kasus ini juga nge-blow up fakta yang selama ini disembunyiin: birokrasi kita nggak jalan karena meritokrasi alias kemampuan, tapi malah karena kedekatan dan kompromi. Yang namanya jabatan sekarang nggak lagi didapat karena pinter dan jujur, tapi karena ‘bapak senang’. Ketika itu yang terjadi, integritas cuma formalitas doang. Bendahara jadi nggak beda sama pedagang jabatan, ngurus duit negara kayak urusan pribadi, dan aturan cuma jadi mainan. Selama budaya ‘asal bapak senang’ masih ada, kasus kayak Bangkalan cuma setitik dari gunung kebusukan yang raksasa.
3. Dampaknya? Nggak Main-main, Ngerusak Fondasi Negara!
Penggelapan setoran pajak itu nggak cuma bikin penerimaan negara ikut berkurang, tapi dampaknya jauh lebih parah. Kepercayaan masyarakat anjlok, tax ratio jeblok, defisit negara melebar, program sosial jadi korban, investor juga jadi ragu buat tanam duit, dan akhirnya ekonomi kita jadi lemah banget. Coba bayangin deh, pelaku usaha gimana mau percaya kalo bendahara yang bertugas justru ngutil duit mereka? Investor jelas males dateng ke negara yang bendaharinya sendiri makan uang rakyat. Begitu kepercayaan hilang, negara bakal kehilangan kredibilitasnya.
4. Busuk dari Dalam, Runtuh Sendiri
Sejarah sudah bilang, negara nggak dapet tumbang karena musuh luar, tapi karena korupsi dalam negeri sendiri. Contohnya Romawi yang runtuh bukan karena serbuan barbar, tapi karena pejabatnya sendiri yang hancurin dari dalam. Uni Soviet juga jatuh karena birokratnya yang bobrok, bukan karena tekanan Amerika. Dan Indonesia sekarang kayak lagi nyari jalan yang sama, bukan karena ancaman luar, tapi karena pegawai fiskal yang nyolong pajak di belakang meja.
Kalau bendahara bisa motong pajak, nggak nyetorin, dan kasusnya baru nongol setelah ada aduan publik, itu jelas tanda kalau sistem sudah parah banget, bro. Negara yang busuk dari dalam nggak butuh musuh buat dijatuhin. Dia bakal roboh karena kebusukannya sendiri. Kasus bendahara yang ngutil pajak ini jadi bukti nyata kalo waktu buat beresin sistem udah mepet banget.
Intinya, kita semua harus sadar nih, kalau negara mau maju dan sehat, harus dimulai dari pejabat yang jujur dan sistem yang bersih. Kalau dari yang puncak aja udah bobrok, gimana rakyat bisa percaya dan negara bisa kedepan? Saatnya kita semua, khususnya para pejabat, sadar dan berubah sebelum semuanya terlambat. Jangan kasih peluang makin banyak yang ngutil duit negara, karena itu sama aja kita ngerusak masa depan generasi bangsa.
5. Waktu Perbaikan Sudah Sangat Mendesak
Bro, jangan anggap remeh kasus ini cuma sebagai satu kejadian doang. Ini alarm besar yang nunjukin kalau birokrasi kita lagi di titik kritis. Saat bendahara yang mestinya jadi penjaga uang rakyat malah berkhianat, negara udah kayak pesawat yang pilotnya sibuk main HP, bukan ngendaliin kokpit. Kalau dibiarkan berlarut-larut, bukan cuma soal uang negara yang lenyap, tapi kerusakan sistemnya bakal makin dalam.
Kita butuh perbaikan total, bukan sekadar tindakan-tindakan simbolis yang cuma bikin kasus tutup-tutupan. Pemerintah wajib bangkit, berlakukan sistem pengawasan lebih ketat, dan usir pejabat nakal yang korupsi dari lingkarannya. Ini bukan cuma soal hukum yang harus ditegakkan, tapi soal moral dan kepercayaan yang harus dikembalikan.
6. Perlunya Sistem Pengawasan Anti-Ribet dan Digitalisasi
Era digital sebenarnya adalah kesempatan emas buat ngelawan kebocoran-kebocoran kayak gini. Kalau semua transaksi pajak dan setoran dilakukan dengan sistem digital yang transparan dan terdokumentasi rapi, penyelewengan bisa diminimalisir. Sistem kayak ini nggawe proses pengawasan jadi gampang, realtime, dan kurang celah korupsi.
Maka, pemerintah harus investasi besar dalam IT dan digitalisasi sistem keuangan negara. Jangan cuma bisa ngomongin smart city atau smart office, tapi smart governance-nya juga harus jalan. Dengan teknologi yang bagus, bendahara yang nakal nggak akan bisa asal corat-coret ngalih-ngalih duit seenaknya.
7. Budaya Integritas Harus Ditanamkan Sejak Dini
Selain dari sistem dan teknologi, perbaikan besar harus dimulai dari mindset para pelaku birokrasi. Budaya integritas, jujur, dan bertanggung jawab harus jadi fondasi yang dipegang teguh oleh setiap pejabat dan pegawai negara. Ini bukan sekadar slogan, tapi harus terwujud dalam sikap dan perilaku sehari-hari.
Pendidikan integritas wajib masuk ke dalam kurikulum pelatihan birokrat. Reward dan punishment harus jelas, supaya gak ada alasan buat mereka melanggar aturan. Kalau budaya kerja kedisiplinan dan jujur bisa mengakar, maka kasus-kasus seperti bendahara yang tilap pajak ini bisa diminimalkan atau bahkan dieliminasi.
8. Peran Masyarakat dan Media Sebagai Pengawas Sosial
Selain pemerintah, kita sebagai masyarakat juga punya peran penting. Kita harus rajin memantau dan mengawasi jalannya uang negara, terutama di tingkat pemerintahan daerah yang rawan penyimpangan. Jangan takut untuk melaporkan kalau menemukan indikasi korupsi atau kecurangan.
Media juga harus terus menjalankan fungsi kontrol dan investigasi dengan profesional. Kasus bendahara yang baru muncul setelah aduan publik membuktikan kalemnya pengawasan internal. Media dan masyarakat harus jadi mata dan telinga tambahan, supaya penyalahgunaan wewenang bisa terbongkar lebih cepat.
Kesimpulan: Saatnya Revolusi Mental dan Sistem
Ini saatnya kita semua sadar bahwa perubahan harus menyentuh semua sisi: sistem, teknologi, budaya kerja, dan pengawasan. Birokrasi yang sehat dan bebas korupsi bukan cuma mimpi, tapi keharusan untuk masa depan bangsa yang lebih baik. Negeri ini milik kita bersama, jadi jangan sampai dikhianati oleh orang-orang yang mengaku sebagai penjaganya.
Kasus bendahara yang motong pajak tapi nggak nyetorin adalah cermin dari sakitnya sistem pemerintahan kita. Perbaikan harus dilakukan secara menyeluruh dan serius, sebelum kerusakan yang lebih parah lagi terjadi. Mari bersama-sama dorong transparansi dan integritas, supaya negeri Kahona ini bisa berdiri kokoh dan rakyatnya sejahtera.
Kontrol ketat, digitalisasi, budaya kerja yang jujur, dan pengawasan aktif dari masyarakat adalah kunci supaya kasus seperti ini nggak terulang. Karena kalau bukan kita yang berjuang, siapa lagi? Jangan biarkan birokrasi kita jadi sampah moral yang merusak masa depan negeri. Waktunya bertindak sekarang juga, bro!
***
Komentar
Posting Komentar