Menyederhanakan NU: Merajut Kembali Asa dan Hikmah Jam’iyyah
Oleh: Eko Windarto
Kisruh dan dinamika internal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) akhir-akhir ini seolah membuka lembaran lama yang terpendam—betapa rapuhnya sebuah jam’iyyah ketika struktur kepemimpinan melebar tanpa kejelasan garis komando. Dalam tubuh organisasi yang berlandaskan iman dan kebersamaan, justru muncul dualisme hakikat kepemimpinan.
Rais ‘Aam yang terpilih lewat Muktamar dan Ketua Umum yang juga menghasilkan legitimasi sama-sama merasa memegang mandataris jama’ah. Di persimpangan inilah roda organisasi tersendat, bahkan terhenti berbulan-bulan lamanya, menanti penyelesaian yang belum jua tiba.
Berangkat dari kegelisahan itu, ada satu suara yang membahana: Saatnya menyederhanakan NU.
1. Menata Ulang Struktur Puncak Jam’iyyah: Meredam Gelombang Kepentingan
Waktunya telah tiba bagi NU untuk menengok kembali dirinya; menghidupkan model yang ringkas, lugas, dan penuh makna. Pembaharuan struktur seharusnya dihadirkan lewat sistem pemilihan yang jelas dan harmonis. Pada Muktamar mendatang, mungkin cukup menghantarkan satu guru agama sebagai Rais ‘Aam, simbol tertinggi ulama.
Selanjutnya, Rais ‘Aam diberikan mandat penuh untuk mengangkat Ketua Umum, bukan lewat kontestasi terbuka yang kerap memecah belah.
Dengan kerja sama ini:
Tidak lagi ada dualisme figur, yang sama-sama merasa mewakili pilihan Muktamar;
Konsolidasi Syuriyah dan Tanfidziyah berjalan dengan stabil, Ketua Umum berangkat dari amanah Rais ‘Aam, sehingga bukan lawan tanding, melainkan mitra sejati.
NU hadir bukan untuk pertempuran kuasa yang menghancurkan marwah jam’iyyah, melainkan berdiri tegak di atas hikmah tatanan ulama yang memayungi umat.
2. Kemandirian Ekonomi PBNU: Menyambut Muktamar yang Bersahaja
Di balik struktural, permasalahan sesungguhnya menemukan akar di sisi ekonomi. NU harus bangkit menjadi mandiri. Titik awal kemandirian itu sangat simbolis: Muktamar.
Semestinya Muktamar bukan ajang pesta kemewahan, apalagi panggung promosi kandidat serta arena jual-beli dukungan politik yang membebani jama’ah.
Tidak diperlukan tiket mahal, bukan pula santunan atau fasilitas mewah yang memenjarakan loyalitas dalam ketergantungan. Tidak ada pula pesawat pribadi yang disewa pihak ketiga yang menghisap nilai sejati persaudaraan.
Muktamar harus kembali kepada jiwa swadaya, kesederhanaan yang sarat makna. Delegasi dari PCNU, PCINU, dan PWNU hadir atas biaya hasil urunan anggota sendiri, tanpa embel-embel korporasi atau donasi berbungkus kepentingan.
Muktamar bukan karnaval popularitas, melainkan forum luhurnya musyawarah agama. Dengan pembiayaan mandiri, maka pemilihan pemimpin bukan lagi soal modal besar, melainkan kualitas dan integritas yang berbicara.
Keutuhan jama’ah mengalahkan tipu daya politik; kesucian keputusan mengatasi godaan lobi tak berarti.
3. Mengembalikan NU ke Nafas Awal: Menyulam Tradisi Kesederhanaan
NU lahir dari tangan dan hati para kiai kampung, ia bertumbuh dalam kultur kesederhanaan yang mengakar: mengajar, membimbing, mengayomi komunitas dengan apa adanya. Tiada glamor, tiada transaksi tersembunyi.
Menyederhanakan NU berarti mengembalikan napas itu—napas sebuah jam’iyyah yang memulai langkahnya tanpa riuh dan kedengkian, melainkan keikhlasan dan ketulusan.
Nafas itu bernapas dalam:
Struktur yang jelas, yang memberi ruang pada setiap bagian untuk berkontribusi tanpa gesekan;
Manajemen yang rapi, menuntun organisasi berjalan efisien dan harmonis;
Ekonomi mandiri, menumpu pada kekuatan internal tanpa tergantung pada kepentingan eksternal;
Muktamar yang suci, kembali menjadi arena musyawarah agung, penuh khidmat dan ketulusan—bukan medan adu strategi pragmatis.
Dengan kembali ke akar ini, jam’iyyah akan pulih dari sakitnya, menapaki jejak kebenaran dengan diyakini dan dinamika yang positif. Roda organisasi kembali berputar, memberi arah nyata bagi jama’ah yang tidak pernah berhenti bergerak meski rumah besarnya retak.
NU: Terlalu Besar untuk Dibiarkan Kacau, Terlalu Mulia untuk Diseret Kepentingan
Jam’iyyah Nahdlatul Ulama, dengan segala kekayaan spiritual dan sosialnya, terlalu agung untuk dibiarkan terjerumus dalam kekacauan dan ketidakpastian. Terlalu mulia untuk diseret oleh kepentingan sesaat yang membahayakan masa depan.
Menyederhanakan NU bukanlah kemunduran, melainkan pintu gerbang menuju kemajuan yang hakiki. Dengan menyulam ulang struktur, jiwa, dan ekonomi yang mandiri, NU akan menapaki langkah baru yang lebih kokoh.
Di sanalah harapan kita bertaut, di mana masa depan jam’iyyah dibangun dari pondasi kesederhanaan, keikhlasan, dan kebersamaan.
Merangkai Hikmah dari Para Kiai: Cahaya Penuntun dalam Menyederhanakan NU
Dalam perjalanan panjang Nahdlatul Ulama, para kiai telah menjadi mercusuar yang menggenggam kompas arah jam’iyyah agar tidak tersesat dalam gelombang zaman. Pilar-pilar spiritual ini bukan saja menjaga akidah dan ajaran, tetapi juga menjadi sumber inspirasi untuk menjaga kesederhanaan dan kesucian organisasi.
Salah satu kutipan populer yang sering mengilhami jiwa jama’ah NU berasal dari KH. Wahid Hasyim, tokoh besar yang pernah berkata:
"NU adalah rumah kita bersama, bukan tempat rebutan kekuasaan. Di sana harus ada keikhlasan yang mengalahkan ambisi."
Kata-kata tersebut mengingatkan akan pesan utama yang harus terus dijunjung tinggi: keberlangsungan jam’iyyah adalah tujuan akhir, bukan kepentingan individu.
Sejarah juga mencatat bagaimana para kiai pendiri NU mendirikan organisasi ini bukan untuk eksistensi diri, melainkan sebagai ladang amal mengabdi kepada umat. Kesederhanaan berstruktur menjadi fondasi utama yang menumbuhkan solidaritas serta semangat gotong royong dalam jama’ah, jauh dari hierarki yang mengakar pada ego dan dominasi.
Menyederhanakan NU: Perjalanan Spiritual dan Organisasi
Menyederhanakan NU bukan soal menghilangkan struktur, melainkan meramu kembali bentuknya agar lebih sesuai dengan nilai-nilai luhur yang telah diwariskan oleh para leluhur. Ini adalah tafakur kolektif yang membutuhkan keberanian dan ketulusan hati.
Pengalaman para kiai senior selama abad ke-20 yang melewati liku-liku politik dan sosial Indonesia mengajarkan bahwa kekuatan NU terletak pada kesatuan hati dan pikiran, bukan pada hiruk pikuk birokrasi yang rumit.
Dalam konteks ini, menyederhanakan NU adalah upaya menanggalkan beban-beban berat yang tidak berakar pada nilai-nilai islam Ahlussunnah wal Jama’ah dan kultur tradisi pesantren.
Kiprah dan Teladan Para Kiai Dalam Menjaga Keutuhan NU
KH. Hasyim Asy’ari, pendiri NU, menempatkan peran ulama sebagai pembimbing ruhani sekaligus penjaga persatuan umat. Dalam spirit inilah, pemimpin NU diharapkan bukan hanya piawai dalam administrasi, tapi juga memiliki keteguhan spiritual yang mampu mengharmoniskan berbagai kepentingan dalam jam’iyyah.
KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, generasi berikutnya yang menjadi simbol kemurnian dan keberanian NU, kerap menekankan pentingnya keseimbangan antara tradisi dan pembaruan. Beliau mengajarkan bahwa menyederhanakan organisasi tidak sekadar teknis, tapi juga menyentuh aspek kemanusiaan dan keikhlasan.
Para kiai pesantren pun senantiasa memberi contoh dalam kesederhanaan: hidup sederhana, bekerja keras tanpa pamrih, dan mengutamakan maslahat jama’ah di atas nama pribadi atau golongan tertentu.
Kepemimpinan yang Berjiwa Ulama: Pilar Merawat NU
Peran Rais ‘Aam sebagai pemimpin tertinggi dalam tatanan Syuriyah bukan sekadar jabatan administratif. Lebih dari itu, ia adalah sosok pengayom yang menjaga sunnah, membimbing pikiran, dan meneduhkan jiwa jama’ah.
Dengan memberikan mandat penuh untuk menunjuk Ketua Umum, Rais ‘Aam dipercaya untuk membuat keputusan yang bukan hanya strategis, tapi juga penuh nuansa keilmuan dan kearifan. Hal ini menghindarkan organisasi dari konfrontasi kepentingan yang mengikis solidaritas.
Seperti sebuah pohon besar yang daunnya rimbun dan akar yang kuat, NU harus tumbuh dengan struktur tersusun rapi — ranting yang tak berkelahi, tetapi saling menopang.
Menyusun Masa Depan NU: Keseimbangan antara Tradisi dan Modernitas
Di tengah derasnya arus perubahan zaman, NU yang besar dan berakar ini menghadapi tantangan sekaligus kesempatan. Menyederhanakan organisasi berarti juga berani berinovasi tanpa kehilangan jati diri.
Misalnya, dalam penggunaan teknologi digital untuk manajemen dan komunikasi, NU bisa lebih efisien dan lebih terbuka tanpa harus berkompromi soal prinsip. Demikian pula dalam mekanisme transparansi keuangan yang ketat, agar kemandirian ekonomi tidak hanya jargon, tetapi kenyataan.
Muktamar yang sederhana adalah simbol keberanian untuk menolak kemewahan yang berlebihan dan mendahulukan nilai substansi. Di sanalah kejujuran dan keadilan diuji, dan di sanalah masa depan NU ditentukan.
Penutup: Menata NU untuk Negeri dan Umat
Menyederhanakan NU adalah panggilan zaman dan panggilan hati. Ia bukan hanya soal teknis, tetapi soal jiwa, soal menjaga amanah sejarah dan membangun masa depan yang gemilang.
Dengan memegang teguh prinsip-prinsip kesederhanaan, keikhlasan, dan kebersamaan, NU akan terus menjadi mercusuar yang menerangi umat Islam di Indonesia dan dunia.
Mari bersama-sama merajut kembali asa dan hikmah jam’iyyah; menyederhanakan NU bukan melemahkan, melainkan memperkuat akar agar bisa bertumbuh lebih kokoh menghadapi tantangan zaman.
***
Komentar
Posting Komentar