Pers dan Tantangan Disinformasi di Era Digital


Oleh: Eko Windarto 

“Ketika pers menjadi ruang gema kebohongan, demokrasi pun berubah menjadi sandiwara.” Begitulah ungkapan tajam dari filsuf dan novelis Italia, Umberto Eco. Kalimat ini bukan sekadar retorika, melainkan cermin kenyataan pahit yang tengah kita hadapi. Di balik gemerlap layar televisi, hiruk-pikuk media sosial, dan deretan headline berita daring, yang berlomba-lomba bukan lagi soal kebenaran, melainkan suara paling keras dan sensasional.

Kini, konsep “berita” kian kehilangan makna. Tak jarang yang muncul hanyalah pengulangan malas kebohongan yang sudah lebih dulu viral. Hal ini bisa kita pahami lewat perspektif Hannah Arendt, sejarawan dan filsuf Amerika, bahwa ancaman terbesar bagi kebenaran bukanlah dusta itu sendiri, melainkan kemalasan dalam mengulanginya. Di tangan media, kemalasan ini menjadi racun yang melumpuhkan fungsi pers sebagai pilar demokrasi.

Media kehilangan marwahnya. Ia tak lagi menjadi rumah bagi pencarian dan penyebaran kebenaran, melainkan pabrik gema yang hanya memantulkan suara siapa pun yang paling keras. Algoritma raksasa yang mengatur arus informasi lebih mementingkan klik dan sensasi daripada fakta dan integritas.

Dalam ekosistem ini, jurnalis bukan lagi pencari fakta yang kritis, melainkan penyambung lidah sumber yang seringkali anonim dan tak terverifikasi. Narasumber menjadi sosok bayangan yang suaranya lebih kencang daripada kebenarannya. Dan publik? Mereka menjadi korban dari pusaran informasi yang tak terkendali, kebingungan dan kehilangan kepercayaan.

Maria Ressa, jurnalis sekaligus pendiri Rappler dan penerima Nobel Perdamaian asal Filipina, mengingatkan bahwa disinformasi bukan sekadar menyebarkan kebohongan. Lebih jauh, disinformasi menghancurkan fondasi paling dasar dalam demokrasi: kepercayaan publik. Ketika kepercayaan itu runtuh, institusi-institusi yang seharusnya menjadi penjamin kebenaran kehilangan legitimasi. Akibatnya, setiap individu merasa berhak untuk memiliki “versi kebenarannya” sendiri, seolah kebenaran kini adalah produk yang bisa disesuaikan sesuka hati — sebuah malapetaka bagi masyarakat yang menjunjung nilai objektivitas dan fakta.

Hal yang ironis adalah semua fenomena ini masih dibungkus dengan jargon lama yang terdengar tetap indah di telinga: cepat, akurat, terpercaya. Slogan-slogan tersebut kini lebih mirip mantra purba yang diulang tanpa kesungguhan, hanya untuk menjaga citra media yang semakin rapuh.

Tantangan Pers dalam Era Disinformasi

Memasuki era digital, pers menghadapi tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Informasi mengalir deras tanpa henti, ditambah dengan kemudahan siapa saja menyebarkan pesan ke jutaan orang dalam hitungan detik. Namun, kemudahan ini tidak selalu diiringi dengan tanggung jawab dan etika jurnalistik yang kuat. Sebaliknya, disinformasi dan hoaks menyebar bagaikan api dalam sekam, merusak fondasi kepercayaan publik yang semestinya dipertahankan oleh media.

Dalam konteks ini, peran pers tidak hanya sebatas penyaji informasi, melainkan juga penjaga dan penyaring kebenaran. Sayangnya, banyak media yang justru terjebak dalam perang klik (click war), berlomba menyajikan berita dengan judul-judul bombastis demi menarik perhatian, tanpa memastikan kualitas dan akurasi kontennya. Fenomena ini secara tidak langsung mendorong redaksi untuk mengabaikan proses verifikasi dan keakuratan faktual, sebuah kemunduran yang fatal dalam dunia jurnalistik.

Media sebagai Pilar Demokrasi

Pers sejatinya merupakan pilar penting dalam menjaga demokrasi agar sehat dan kuat. Media berfungsi sebagai wadah kontrol sosial, mengawasi jalannya pemerintahan dan berbagai lembaga publik, serta memberikan ruang bagi suara masyarakat, terutama mereka yang selama ini termarjinalkan. Ketika pers kehilangan integritasnya, maka kekuatan demokrasi pun terkikis.

Pentingnya keberanian jurnalis dalam menjalankan tugasnya pun semakin menjadi sorotan. Di banyak negara, termasuk Indonesia, jurnalis yang berani mengungkap kebenaran sering kali menghadapi intimidasi, ancaman, hingga kekerasan. Situasi ini memperparah krisis informasi, sebab jurnalis terpaksa harus mempertimbangkan keselamatan diri, yang ujung-ujungnya membatasi ruang publik untuk mendapatkan berita yang objektif dan berimbang.

Strategi Mengembalikan Kejayaan Pers

Mengatasi persoalan ini memerlukan upaya terpadu dari berbagai elemen masyarakat. Pertama, media massa harus kembali mengedepankan kode etik jurnalistik yang mengutamakan kebenaran, keakuratan, dan keberimbangan informasi. Ini berarti menolak godaan untuk mengejar “headline” sensasional yang sengaja menyesatkan, dan lebih fokus pada kualitas konten.

Kedua, literasi media bagi masyarakat harus ditingkatkan secara masif. Masyarakat yang kritis terhadap informasi yang mereka terima adalah benteng pertama dalam melawan arus kebohongan dan disinformasi. Program-program edukasi tentang cara mengenali berita palsu, memahami konteks, dan menguji sumber informasi sangat penting untuk membangun budaya membaca yang cerdas.

Ketiga, perlu ada regulasi yang tegas dan jelas mengenai penyebaran berita palsu dan hoaks. Pemerintah bersama lembaga terkait harus menciptakan kerangka hukum yang menghukum penyebar disinformasi tanpa mengorbankan kebebasan pers yang sejati. Regulasi ini harus diterapkan secara adil dan transparan, agar tidak menjadi alat sensor atau pembungkaman kritik.

Keempat, media sosial dan platform digital juga memainkan peran besar dalam ekosistem informasi saat ini. Mereka harus mengambil tanggung jawab lebih besar dalam memerangi konten yang menyesatkan dan membahayakan. Algoritma yang selama ini menguntungkan konten kontroversial atau provokatif harus direvisi agar mampu memprioritaskan konten akurat dan berkualitas. Langkah-langkah seperti fact-checking dan transparansi sumber berita perlu menjadi standar yang diterapkan secara konsisten.

Peran Jurnalis sebagai Penjaga Kebenaran

Krisis kepercayaan terhadap pers juga jadi refleksi atas kualitas jurnalis itu sendiri. Seorang jurnalis harus bersikap independen, tidak berpihak, dan memiliki integritas tinggi. Mereka harus membangun narasi berdasarkan fakta yang terverifikasi, bukan sekadar ikut-ikutan arus opini publik yang terkadang terdistorsi.

Selain itu, keahlian jurnalis dalam memahami konteks sosial, politik, dan budaya menjadi kunci dalam menjelaskan isu-isu kompleks secara mendalam dan objektif. Dengan pengetahuan yang mumpuni, jurnalis dapat menyuguhkan informasi yang tidak hanya akurat secara data, tapi juga relevan dan menambah wawasan bagi pembaca atau pemirsa.

Jurnalis juga harus mampu mengedukasi publik, bukan hanya menyajikan data mentah ataupun opini yang belum dikaji secara kritis. Dengan cara ini, media dapat berperan sebagai instrumen yang memperkuat masyarakat agar tahan terhadap arus disinformasi.

Meneguhkan Kembali Fungsi Media sebagai Ruang Publik

Demokrasi yang sehat menuntut ruang publik yang terbuka, jujur, dan berisi. Media, sebagai pembentuk opini dan penyebar informasi, harus menjadi ruang dialog yang beradab, di mana pelbagai pendapat dan fakta dapat dibahas secara konstruktif dan mendalam. Mengubah media kembali menjadi ruang publik yang bermartabat bukan hal mustahil, asalkan ada komitmen dari semua pihak untuk menjaga kualitas dan akurasi.

Media harus menolak menjadi arena pertempuran ego dan kepentingan kelompok. Mereka perlu menjunjung prinsip independensi editorial dan menghindari keterlibatan dalam politik praktis yang bisa membatasi objektivitas pemberitaan. Hanya dengan begini, media bisa kembali dipercaya sebagai pilar demokrasi yang kokoh.

Kesimpulan: Membangun Media yang Berintegritas dan Kritis

Krisis yang dialami pers dewasa ini adalah panggilan untuk kita semua, baik sebagai konsumen informasi maupun pelaku media, agar bersama-sama memperbaiki ekosistem informasi. Pers harus bangkit dari jebakan gema kebohongan dan kembali menjadi penjaga kebenaran yang teguh. Demokrasi pun membutuhkan media yang tidak hanya sekadar menyampaikan fakta, tetapi juga membangun wacana publik yang sehat dan beradab.

Dengan kolaborasi antara media, masyarakat, pemerintah, dan platform digital, langkah-langkah nyata dapat diambil untuk mengembalikan marwah pers. Hanya dengan media yang berintegritas, kritis, dan bertanggung jawab, demokrasi bisa hidup dan berkembang dengan kuat, bukan hanya menjadi sandiwara dari gema kebohongan belaka.

Batu, 14112025

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PjS Kades Puncak Jeringo Tegaskan Dana Desa untuk Pembangunan, Bukan untuk Korupsi

Melampaui Kanvas: Bagaimana Anang Prasetyo Membuka Pintu Jiwa Melalui Seni

Program Makan Bergizi Gratis Meluncur di Kabupaten Malang