Sainah, Penjaga Rajah Bumi dan Lontar Babat Lombok
Di sudut timur Pulau Lombok, tepatnya di Dusun Kedome, Desa Ketapang Raya, hidup seorang perempuan yang menyimpan rahasia peradaban tua. Ia bernama Ibu Sainah, perempuan pelestari adat yang tak hanya menjaga benda pusaka, tetapi juga mewarisi pengetahuan kuno yang tak semua orang mampu pahami.
Di ruang kecil beraroma kayu dan dupa, tersimpan lembaran-lembaran lontar yang sudah berumur ratusan tahun. Lontar itu bukan sembarang tulisan, melainkan naskah Babat Lombok yang mencatat jejak panjang sejarah orang Sasak — dari leluhur, perang, hingga kisah tentang harmoni manusia dengan alam.05/11/2025.
Namun, di antara semua peninggalan berharga itu, ada satu yang paling misterius: rajah bumi. Rajah ini berbentuk simbol-simbol kuno yang tak bisa dibaca sembarangan. Tulisan yang berliku, berpadu antara bentuk aksara dan tanda mistik, seolah berbicara dalam bahasa alam.
Tak semua mata dapat memahaminya. Banyak yang mencoba membaca, tapi hanya menemui kebingungan. Menurut warga sekitar, hanya Ibu Sainah yang bisa mengurai makna di balik setiap guratan. Ia belajar dari para tetua adat sebelum mereka wafat, dan pengetahuan itu kini diwariskan hanya melalui laku, bukan kata-kata.
Setiap kali membuka rajah itu, Ibu Sainah duduk bersila dengan sikap khusyuk. Ia membacanya pelan, seakan berkomunikasi dengan bumi. Bagi dirinya, rajah itu bukan sekadar tulisan, melainkan doa dan penuntun arah kehidupan, pengingat bahwa manusia harus selaras dengan alam semesta.
Rajah bumi dipercaya sebagai simbol keseimbangan antara langit, tanah, dan manusia. Setiap guratan punya arti: sebagian tentang kesuburan, sebagian tentang penjagaan, dan sebagian lagi tentang amalan hidup yang menuntun manusia agar tidak sombong di hadapan ciptaan Tuhan.
Lontar Babat Lombok yang disimpan Ibu Sainah menjadi bukti nyata bahwa budaya Sasak memiliki kedalaman spiritual dan intelektual yang luar biasa. Di dalamnya tercatat kisah leluhur, hukum adat, serta ajaran moral yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Ia tahu betul bahwa naskah seperti itu mudah punah jika tak dijaga. Karena itu, setiap beberapa bulan, ia melakukan ritual pembersihan, membersihkan lontar dengan minyak kelapa murni, membaca doa, dan menyalakan dupa agar roh penjaga ilmu tetap hadir.
Bagi Ibu Sainah, setiap ritual bukan pertunjukan, melainkan tanggung jawab. Ia tidak memperlihatkannya sembarangan. Hanya orang-orang yang datang dengan niat belajar yang ia ijinkan melihat atau mendengarkan penjelasan tentang makna rajah tersebut.
Di antara barisan aksara yang melingkar di kertas kuno, tersimpan pesan tentang kehidupan. Ada ajaran tentang ketulusan, kesabaran, dan keseimbangan antara dunia lahir dan batin. Rajah itu menjadi kitab hidup yang memadukan kearifan leluhur dengan kesadaran spiritual.
“Setiap tanda punya makna,” ujar Ibu Sainah suatu sore sambil menunjuk guratan hitam di atas lontar. “Kalau dibaca dengan hati, bukan dengan mata, baru bisa dimengerti.” Kalimat itu menegaskan bahwa rajah bumi bukan hanya tulisan, tapi bahasa jiwa.
Kini, di usia senjanya, Ibu Sainah berjuang agar generasi muda Sasak mau belajar dan mengenal kembali warisan leluhur mereka. Ia membuka ruang belajar kecil di bawah naungan Yayasan Astapura Rinjani Ringganis, tempat anak-anak belajar aksara, sastra, dan budaya Sasak secara gratis.
Ia tahu perjuangan ini berat. Banyak yang lebih tertarik pada dunia digital dibanding lembaran lontar tua. Tapi Ibu Sainah tak pernah menyerah. “Kalau kita tak jaga, siapa lagi yang akan menjaga?” katanya lirih, menatap lembayung sore dari beranda rumahnya.
Baginya, menjaga budaya bukan hanya melestarikan benda, tapi juga menjaga nilai di baliknya. Rajah bumi dan lontar Babat Lombok adalah simbol kehidupan, warisan yang mengajarkan manusia tentang asal-usul, kesetiaan pada tanah, dan penghormatan pada Tuhan.
Dan di tangan perempuan tua itu, rahasia bumi dan sejarah Lombok tetap hidup. Ia bukan sekadar penjaga naskah kuno, melainkan penjaga jati diri Sasak.
Penulis: Jim
Editor: Eko Windarto
Komentar
Posting Komentar