ACEH TAMIANG, KOTA YANG TERLUPA
Oleh: Eko Windarto
Di ujung timur Aceh, di antara lengang jalan dan hening malam, seperti bayang-bayang tak terlihat, terletak sebuah kota yang terlupakan.
Aceh Tamiang, nama nyaris terlupa, tapi luka-lukanya masih membara.
Di sana, reruntuhan bukan hanya bangunan, tapi harapan tergeletak di antara genangan air, seakan daun kering tak berguna.
Jeritan dan erangan menjadi kekuatan biru, korban menjadi penolong bagi saudara sebangsanya.
Berhari-hari tanpa makan, seteguk air banjir keruh, seolah satu-satunya penawar dahaga dan keletihan.
Tapi, di tengah keputusasaan, ada cinta tumbuh, bagai bunga mekar di tengah gurun pasir.
Mereka terlupakan, tapi tidak pernah melupakan dirinya sendiri, mereka terabaikan, tapi tetap teguh pada jejak hati.
Aceh Tamiang, bukan sekadar kota, tapi sebuah saksi bisu waktu yang terus berjalan, tanpa peduli luka menganga.
Tapi, ada satu hal tak bisa dilupakan, yaitu cinta yang masih menyala, seperti api tak pernah padam.
Dan, tiba-tiba, air mata yang tak terlihat, menjadi sungai mengalir, membawa harapan dan cinta, ke seluruh penjuru negeri.
Aceh Tamiang, bukan hanya nama sebuah kota, tapi sebuah simbol cinta dan harapan, yang tak pernah padam, meski dunia kadang memalingkan muka.
Batu, 27122025
Catatan:
Puisi esai ini terinspirasi dari video Ferry Irwandi dalam situasi di Aceh Tamiang, di mana korban bencana banjir terpaksa membantu korban lain dan bertahan hidup dengan cara yang tidak manusiawi. Puisi ini ingin menggambarkan kesabaran dan keputusasaan masyarakat Aceh Tamiang, serta harapan dan cinta yang masih ada di tengah kesulitan.
***
Komentar
Posting Komentar