Bisikan Bencana: Sebuah Elegi Cinta untuk Tanah dan Rakyat
Oleh: Eko Windarto
Di saat air perlahan memeluk bumi,
ketika tanah rebah dalam pelukan sendu,
dan rumah-rumah retak oleh tangis alam,
rakyat menatap langit dengan mata yang tiada lelah,
berjuang tanpa jeda, tanpa panik yang membakar.
Mereka, jiwa-jiwa yang terbakar oleh realita,
tak punya ruang untuk takut,
karena takut adalah kemewahan yang tak bisa dimiliki.
Panik? Bagi mereka, itu adalah benih penderitaan,
bahwa hidup tak pernah berhenti menguji.
Namun di balik tirai kaca dan meja kayu,
di ruang-ruang yang hangat penuh hawa hitam,
ada ketakutan lain yang merayap diam-diam.
Mereka yang hidup berkelindan dengan izin dan janji,
yang gemar bermain di tanah yang terlarang.
Di situ, panik mulai merekah seperti bunga berduri,
ketika kata “nasional” mencumbu angin,
menyibak tabir narasi, meninggalkan kebohongan.
Bencana bukan lagi cerita alam murka,
melainkan kisah kelam yang menuntut jawaban,
tentang siapa yang mencabut akar kehidupan,
siapa yang menutup mata pada rintihan rawa dan hutan.
Bencana nasional adalah lagu cinta yang patah,
antara manusia dan tanah yang dilahap keserakahan.
Suara-suara lembut berubah jadi tanya menggema,
menuntun kita pada janji-janji hangus yang terlupa,
bahwa bumi ini bukan sekadar tanah dan batu,
melainkan kasih yang harus dijaga dan dirawat.
Dalam romantika duka itu terselip harap,
bahwa audit bukan sekadar bayang-bayang menakutkan,
melainkan pelukan penuh perhatian,
yang menghapus debu ketidakadilan di wajah negeri.
Ini adalah kisah cinta yang menuntut kejujuran,
antara manusia dan rumah yang rapuh ini.
Rakyat, yang telah melukis kepedihan dalam sunyi,
tersenyum dalam perjuangan tanpa pamrih,
menjadi nyanyian abadi yang membelai masa depan,
sebuah janji bahwa cinta pada bumi takkan pudar,
bahwa dalam setiap tetes air mata dan hujan,
terdapat bibit kehidupan baru yang tumbuh dan berbunga.
Mari kita sambut bencana ini bukan sebagai lawan,
tapi sebagai tutur kata cinta yang mengajarkan,
betapa harus lembut memeluk bumi,
dan betapa harus setia menjaga sesama.
Karena di balik setiap kepanikan sejati,
ada cinta yang tak pernah padam,
menunggu untuk bersemi lebih indah dari sebelumnya.
Batu, 11122025
Komentar
Posting Komentar