Di Balik Maaf: Luka Itu Perih, di Pinggir Silaing
Oleh: Eko Windarto
Bayangkan malam itu
Kau berdiri di pinggir Lembah Anai
Langit menumpahkan deras hujan, bukan sekadar tetes air
Melainkan tumpahan amarah yang tak terbendung
Mengguruh dari hulu, bukan melodi biasa
Melainkan dentuman batu raksasa, sebesar rumah bertubrukan keras
Batang pohon pun patah, jerit beton jembatan memecah sunyi
Lihatlah! Rumah-rumah dan kedai di tikungan jembatan kembar Silaing
Tergerus bumi, atau tersapu gelombang longsor dan galodo
Hilang tanpa sisa!
Bumi mengunyah, melumatnya dalam pelukan gelap malam.
Namun, dari Jakarta, suara dingin merayap:
“Relatif terkendali,” katanya,
“Hanya ramai di medsos,” bisiknya.
Apa yang kau rasa?
Marah? Bingung? Atau luka yang teriam?
Seorang gubernur menetes air mata di depan ranahnya
Seperti tsunami kedua melanda jiwa rakyatnya
Bupati mengibarkan bendera putih—lelah melawan alam beringas
Sibolga sunyi tanpa walikota listrik dan sinyal mati
Gelap menelan hari-hari yang penuh nestapa
Demi Allah, kisah pilu itu tersembunyi,
Rekaman panik dan jeritan nyaris lenyap dari memori
Ratusan nyawa hanyut bersama deras sungai
Ribuan cerita duka terkubur jauh,
Tanpa kamera, tanpa suara, tanpa pengakuan
Rekonstruksi Monster Silaing—
Ketika tank baja menggelinding dari bukit
Menghancurkan segalanya tanpa ampun
Mengapa beton remuk? Rumah megah tersungkur?
Bagaimana batu-batu raksasa bermain liar di jalan?
Batu-batu itu, puluhan ton beratnya
Tank baja alam yang menghantam gagah, tanpa rem
Galodo mengamuk, mengoyak daratan, rata dengan tanah!
Kayu gelondongan setebal gaban
Merobohkan rumah mungil di Tapanuli,
Lumpur tak memandang status, kaya miskin sama deritanya
Mobil mewah tumpang tindih di Lumin Park
Rumah mewah tenggelam dalam lumpur, sama seperti di bantaran DAS
Di mana rumah-rumah itu tersapu tanpa sisa—hilang bagai tiada
Data negara mungkin hanya angka
Namun bagi korban, itu ceceran mimpi
Jerih payah lenyap sekejap kebanggaan pun remuk
Kepala BNPB berdiri di Tapanuli Selatan,
Geleng kepala, katakan:
“Saya surprise, tidak mengira sebesar ini.”
Sikap ksatria patut dihargai,
Namun maaf, nasi telah menjadi bubur,
Pernyataan awal yang menyebut "hanya medsos"
Menikam jutaan hati dengan luka gaslighting.
Bayangkan kau tergeletak berdarah di reruntuhan
Sang penolong berkata
“Lukamu tak parah, kau cuma lebay.”
Betapa pedihnya luka yang tak diakui
Penderitaanmu sirna, dianggap remeh
Pemimpin bencana, milikilah sense of crisis!
Tatapanmu bukan hanya di meja Jakarta
Mata harus menembus kegelapan Aceh Tamiang dan Tapanuli
Dengan sinyal yang hilang, listrik padam—
Hening itu bukan keselamatan,
Hening itu maut yang menanti.
Dalam maaf yang terlambat tersurat
Luka masih berdarah
Terlalu perih untuk diabaikan
Mengajarkan kita tidak boleh tutup mata
Pada derita yang nyata.
Lebih dari kata maaf, kita butuh aksi nyata
Perhatian tulus dari semua pemimpin
Karena setiap angka adalah wajah manusia
Berjuang di tengah kehancuran
Biarlah air mata gubernur
Dan bendera putih sang bupati
Menjadi pengingat
Bahwa alam tak kenal ampun
Manusia harus siap dan peduli
Mari peluk luka dengan besar hati
Jadikan bencana pelajaran berharga
Agar saat alam berbisik amarahnya kembali
Kita tak terbuai oleh kata-kata kosong
Atau riuh tanpa arti di media sosial
Bersama, kita bangkit
Dari puing dan air mata
Menuju cahaya dan harapan
Batu, 2122025
Komentar
Posting Komentar