Di Balik Maaf: Luka Itu Perih Sekali, Jenderal
Oleh: Eko Windarto
Bayangkan malam itu, ketika kamu berdiri di pinggir Lembah Anai. Hujan turun bukan sekadar butiran air, melainkan seperti langit yang menumpahkan seluruh isinya—deras, tanpa ampun. Suara gemuruh membahana dari hulu, bukan suara banjir biasa. Itu raungan puluhan batu sebesar rumah, saling bertabrakan, turut disertai dentuman batang-batang pohon raksasa yang patah, disusul jeritan beton jembatan yang menahan hantaman dengan putus asa.
Saksikanlah bagaimana misteri rumah-rumah dan kedai-kedai di pinggir jalan sebelah kiri jembatan kembar Silaing lenyap ditelan bumi atau tersapu longsor dan galodo. Bayangkan betapa dahsyatnya kekuatan yang menghancurkan semuanya tanpa jejak, seakan bumi sendiri mengunyah dan melumatnya sampai habis.
Kemudian, beberapa hari setelahnya, dari Jakarta terdengar gema kata-kata yang terkesan dingin: situasi "relatif terkendali" dan "hanya ramai di medsos." Apa yang kau rasakan saat itu? Marah? Bingung? Ataukah terpukul oleh ketidakadilan kata-kata tersebut?
Seorang Gubernur meneteskan air mata, menyaksikan provinsinya diterjang bencana seolah tsunami kedua. Bupati yang sampai mengibarkan bendera putih, mengungkap ketidakberdayaannya menghadapi dahsyatnya amukan alam. Kota Sibolga kehilangan walikota, dengan sinyal dan listrik terputus selama berhari-hari, seakan terbelenggu dalam kegelapan.
Dan sungguh, demi Allah, ada begitu banyak rekaman dan kisah panik yang lenyap, terkubur dalam memori ratusan korban yang hanyut bersama derasnya bencana. Ratusan jiwa, ribuan kisah nestapa yang berbeda cerita, terkubur tanpa terekam kamera, terenggut dari dokumentasi, tanpa validasi, tanpa suara yang diteruskan ke Sang Jenderal.
Rekonstruksi “Monster” Silaing: Ketika Tank Baja Meluncur dari Bukit
Banyak yang bertanya-tanya: mengapa beton jembatan dan rumah-rumah elit bisa remuk begitu mudah, seperti kerupuk yang rapuh? Bagaimana bisa batu sebesar rumah tiba-tiba “bermain” dan menyerbu hingga tengah jalan?
Mari kita gunakan logika mata manusia. Batu-batu raksasa yang hanyut itu berbobot puluhan ton—setara dengan satu unit tank baja berat. Aliran deras galodo ini bukan sekadar air yang mengalir; melainkan deretan “tank batu” raksasa yang meluncur liar dari ketinggian bukit, tanpa rem, menghantam apa saja di jalannya hingga rata dengan tanah.
Ditambah lagi, ratusan kayu gelondongan dengan tebal sebesar gaban ikut serta merobohkan rumah-rumah mungil milik warga Tapanuli. Lumpur tak pandang bulu, tidak mengenal kasta, kewenangan sosial ataupun kekayaan.
Di daerah elit seperti Lumin Park, mobil-mobil mewah berkerumun dalam tumpukan, rumah-rumah mewah terbenam dalam lumpur sama seperti rumah-rumah di bantaran sungai yang jauh dari kemewahan. Apalagi rumah-rumah di DAS (Daerah Aliran Sungai) yang tersapu habis tanpa sisa.
Cermati sekali lagi, bagi statistik resmi negara, mungkin itu hanya "satu angka kerusakan." Namun bagi setiap korban yang melahap duka, itu adalah tumpukan jerih payah dan mimpi yang musnah dalam satu malam, lenyap seketika tanpa ampun.
Maaf Sang Jenderal: Antara Luka dan Pengakuan
Kini, mari kita bicara tentang Sang Jenderal. Kami, yang mencintai tanah air ini, menghormati beliau sebagai seorang pemimpin. Permintaan maaf beliau di Tapanuli Selatan, dengan lirih sambil menggeleng kepala, “Saya surprise, saya tidak mengira sebesar ini,” adalah sikap ksatria yang patut dihargai.
Namun, maaf, Pak... nasi sudah menjadi bubur. Pernyataan awal Bapak yang mengatakan “hanya mencekam di medsos” telah melukai jutaan hati rakyat Sumatera. Kenapa kita marah? Karena itu adalah gaslighting, sebuah penyangkalan penderitaan yang nyata.
Bayangkan kamu yang tengah berdarah di bawah reruntuhan, lalu sosok yang seharusnya menjadi pelindung dan penolong datang, hanya untuk berkata: “Ah, lukamu tidak parah, kamu cuma lebay.” Betapa pedihnya hati mendengar kata itu. Pengakuan penderitaan menjadi sirna, penderitaan pun dianggap remeh dan tidak valid.
Seorang pemimpin bencana sejati harus memiliki sense of crisis—rasa khawatir yang mendalam akan nasib rakyatnya. Mata pemimpin tidak cukup untuk hanya disandarkan pada kertas dan laporan di meja Jakarta. Tatapan itu harus mampu menembus gelapnya daerah terisolir di Aceh Tamiang dan Tapanuli yang sinyal telekomunikasinya hilang total, tanpa listrik dan koneksi.
Jangan pernah menganggap “tidak ada laporan” berarti “aman.” Dalam dunia bencana, hening itu seringkali bertanda maut. Diamnya kabar adalah bisu mengerikan dari para korban yang terperangkap dalam kekacauan.
Kesimpulan: Menghargai Luka dan Merajut Kembali Asa
Di balik permintaan maaf yang terlambat, tersimpan sebuah luka yang belum sembuh. Luka yang terlalu perih, terlalu dalam untuk diabaikan. Sebuah luka yang mengajarkan kita untuk tidak lagi meremehkan penderitaan, dan untuk tidak menutup mata dari realita mengerikan yang menimpa saudara-saudara kita.
Kita perlu lebih dari sekadar kata “maaf.” Kita butuh tindakan nyata, perhatian serius, dan empati yang tulus dari para pemimpin. Karena setiap angka dalam laporan bukan sekadar statistik, melainkan wajah-wajah manusia yang berjuang bertahan di tengah petaka.
Biarlah air mata sang Gubernur dan bendera putih Bupati menjadi pengingat bahwa alam tak kenal ampun, dan manusia harus belajar untuk lebih siap dan peka. Bencana bukan hanya tentang kekuatan alam, tetapi juga tentang kekuatan kepedulian dan solidaritas kita sesama.
Mari kita rangkul luka itu dengan hati yang besar, dan jadikan bencana sebagai pelajaran berharga. Agar suatu saat, ketika alam kembali berbisik dengan strata amarahnya, kita tak lagi terbuai oleh kata-kata kosong atau angin lalu di media sosial.
Mari jayakan kekuatan bersama, untuk membangun negeri ini kembali—dari puing dan airmata, menjadi harapan dan pelita.
***2122025
Komentar
Posting Komentar