Di Malam Kampung Bariat


Karya: Eko Windarto 

Di malam pekat, di bawah langit Papua

Perempuan berkumpul, suara lirih membalut udara

Hutan bukan sekadar pohon dan daun: ia nadi dan jiwa 

Sagu tumbuh di rahim bumi, ubi mengakar di pelukan tanah

Daun dan akar obat menjadi napas menghidupkan kehidupan 

Tempat suci, sakral, warisan leluhur sepuluh marga

Mereka peluk erat, dalam doa dan janji tak tergoyahkan

Namun di balik canda dan harap, datang bisu ancaman

PT Anugerah Sakti Internusa meremukkan sunyi

Tebang, ganti, dan petaka hutan dalam genggaman

Tanah adat terenggut, tanpa suara, tanpa basa-basi 

“Kita tolak sawit datang!” seru perempuan itu.

“Tanah ini darah di nadi kami, bukan ladang uang.”

Mereka tahu, ini bukan hanya soal hutan

Ini tentang hidup, tentang masa depan yang dirampas

Luasnya sawit, tak terhitung rintih bumi dan manusia

Enam belas juta, dua puluh lima juta hektare

Papua jadi target, lahan begitu luas terbuka

Undang-undang jadi tombak yang menusuk akar adat

Hati-hati, ini gema sejarah yang berputar

Pemerintah Orde Baru pernah menetapkan “hutan negara” tanpa rasa

Lahan adat disetop dengan kepastian “kosong”

Padahal di sana puluhan ribu kampung hidup bersemi

Indonesia dan Belanda, dua wajah satu cerita,l

“Milik kami,” kata mereka, “tak peduli suara penduduk,”

Seolah tanah Papua terdiam tanpa penjaga

Padahal ribuan jiwa berdiri, melawan nafas penjarah

Sawit bukan sekadar minyak nabati termurah

Ia cermin dari eksploitasi berlapis-lapis

Alam dan manusia—terperangkap racun keserakahan

Perempuan dijadikan korban bisu dalam bayang kekerasan

Mereka mencari air, obat, makanan dari hutan yang hilang

Sungai tercemar, harapan pun ikut musnah

Pekerja dijajah lelah, aktivis diperangi suara

Dan hukum? Sering jadi bisu di bawah bayang perusahaan.

“Jika sawit tiba, kemana anak cucu kami lari?”

Tanya Yuliana, suara dari Kampung Bariat meretas malam

Perjuangan tak hanya perlawanan satu hari

Ia adalah nyanyian jiwa, gema yang harus bergema luas.

Masyarakat Papua, penjaga tanah dan hutan

Berjuta kisah luka dalam setiap inci tanah terenggut

Penolakan mereka adalah tarian kehidupan

Yang menolak padam, menolak bertekuk pada aturan serakah

Dengar, dunia yang sibuk dan lalai

Ini bukan hanya kisah Papua, tapi cermin kita bersama

Di mana hutan hilang, kehidupan ikut pudar

Dan kemanusiaan diuji dalam sunyi yang semakin pekat

Mari kita genggam suara mereka

Mengalirkan semangat dalam lautan kata dan aksi nyata

Agar hutan Papua tetap bernapas,

Dan anak cucu menjaga janji leluhur yang tersemai abadi.

Batu, 29122025

Catatan:

Referensi yang digunakan untuk mendukung puisi esai tersebut:

World Rainforest Movement (WRM). "The insane expansion of industrial oil palm in the land of Papua, and the resistance struggle of Kampung Bariat." Diakses dari situs WRM: https://wrm.org.uy

Sumber di atas memberikan landasan informasi faktual dan perspektif kritis yang menguatkan narasi dalam puisi esai serta analisa kondisi sosial-ekologis di Papua.

***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PjS Kades Puncak Jeringo Tegaskan Dana Desa untuk Pembangunan, Bukan untuk Korupsi

Melampaui Kanvas: Bagaimana Anang Prasetyo Membuka Pintu Jiwa Melalui Seni

Program Makan Bergizi Gratis Meluncur di Kabupaten Malang