Jarah di Antara Air Mata




Oleh: Eko Windarto 

Di tanah yang digenangi air dan luka,
berderu suara mereka yang hilang arah—
bukan karena niat jahat,
tapi karena perut yang berdentang keras
di tengah sepinya bantuan.

Sibolga dan Tapanuli Tengah,
dua titik di peta yang tergelincir oleh bencana,
tempat di mana banjir melahap rumah dan harapan,
mengubah malam menjadi desah napas yang tersengal.

Minimarket, dulu simbol harapan kecil,
kini berubah menjadi ajang rebutan hidup,
karena tangan-tangan dipaksa mengambil
apa pun yang bisa menjadi penutup lapar.

Suara gemuruh petugas,
polisi mengamankan mereka yang terdesak,
menggolongkan mereka ke dalam angka,
seperti sebuah barang bukti yang tak berwajah.

Enam belas jiwa ditangkap,
bagai hantu yang mengembara di tengah badai,
sementara desa-desa masih menanti uluran tangan,
yang berjalan lambat, terhambat serta ragu.

Suara negara dalam deru bencana,
mengurai kisah kepedulian yang tersendat,
mengakui akses yang terputus,
menguatkan janji pengiriman bantuan.

Namun di antara deretan janji dan peluru hukum,
terselip wajah-wajah yang kehausan,
bukan sekadar air—tapi rasa keadilan,
rasa dihargai, rasa dilindungi dalam derita.

Banjir bukan hanya soal air yang membanjiri tanah,
tapi diam-diam mengikis tumpuan hidup setiap insan,
menyebabkan kelaparan yang mendesak,
hingga kata ‘mencuri’ dan ‘bertahan’ menjadi samar.

Dalam puing-puing yang basah itu,
ada tangisan yang jiwa mendengarkan,
sebuah kalimat sunyi yang berkata:
“Kita adalah manusia, bukan hanya statistik.”

Dan kota-kota, walau berjarak ribuan langkah,
harus belajar mendengar bukan dengan telinga,
melainkan hati yang lapang
yang menangkap suara dari tanah yang terluka.

Kisah ini bukan hanya peristiwa,
melainkan cermin tentang pluralisme kemanusiaan,
bahwa dalam peristiwa getir,
kita diuji seberapa jauh kasih mengatasi hukum.

Banjir di Sumatera adalah luka bersama,
dan penjarahan adalah bayang-bayang rasa takut,
yang lahir dari keputusasaan
yang belum tersentuh harapan.

Mari jangan biarkan kata ‘penjarahan’ menjadi tuduhan,
tetapi panggil dengan namanya yang sebenarnya:
teriak kelaparan, rintih ketidakberdayaan.

Masyarakat bukan kriminal,
mereka hanya manusia yang terperangkap badai,
yang mencari secercah kehidupan di tengah gelap.

Bantuan harus datang bukan sebagai belas kasihan,
tapi hak yang harus dipenuhi,
akses harus membuka jalan,
bukan sekat untuk menahan napas hidup.

Dan polisi, jangan cuma menjadi penjaga ketertiban,
namun juga menjadi saksi empati,
karena di antara hujan deras dan curah luka,
kemanusiaan adalah satu-satunya perisai yang hakiki.

Di Sibolga dan Tapanuli Tengah,
bencana menulis cerita,
tentang perjuangan hidup—
tentang janji dan luka,
dan tentang harapan yang harus terus dihidupkan.

Batu, 16122025

 
Catatan kaki:

Cerita Fiksi sebuah dramatisasi peristiwa penjarahan minimarket oleh korban banjir di Sibolga dan Tapanuli Tengah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PjS Kades Puncak Jeringo Tegaskan Dana Desa untuk Pembangunan, Bukan untuk Korupsi

Program Makan Bergizi Gratis Meluncur di Kabupaten Malang

YUA dan OK-OCE Dorong Evaluasi Kinerja Sekda Kota Batu