Kas Kering di Tengah Banjir


Oleh: Eko Windarto 

Di sini aku menjelma menjadi pena yang berdansa, menyulam cerita di antara reruntuhan dan deras air yang mengamuk. Tentang negeri yang disapa air bandang, menelan kampung dan asa, Aceh, Sumut, Sumbar—jerit mereka tenggelam dalam keheningan fiskal.

Negeri ini, bagaikan kapal yang bocor di lautan yang tak henti bergelora.
Tak karena data hilang dalam kabut, atau peringatan terlambat tiba.
Namun lantaran kas negara kering, likuiditas mandek membatu.
Menyaksikan bencana seolah menari di depan pintu, tapi tangan terkunci.

Saldo Anggaran Lebih, SAL terukir cantik di dokumen-dokumen tinggi, seharusnya bantalan—pelindung kala badai menerjang.
Namun SAL terselip dalam sistem perbankan, menjadi deposito, giro—rupa-rupa likuiditas palsu. 
Memompa perbankan, melambungkan kredit, tapi meninggalkan kas kosong.

Dan ketika bencana memanggil, ketika harus menanggung luka yang nyata, SAL hanyalah bayang, terperangkap dalam prosedur dan penalti
Menariknya harus hati-hati, sebab stabilitas moneter terancam, Seperti mencari payung yang dititip pada langit berawan.

Pemerintah, dengan segala kehati-hatian dan enggan yang terasa melekat.
Malas menetapkan bencana nasional—karena APBN bakal tercekik pembiayaan.
Defisit melebar, pajak menipis, utang menumpuk seperti bayangan kelabu.
Beban bunga dan utang mencapai setengah darah penerimaan negara.

Di tengah gelap, presiden berpaling arah ke negeri jauh di belahan dunia, Brasil, dengan rajutan hutan Amazonnya yang kerasukan tangan penyembuh. Menggenggam dana dari dunia—puluhan miliar untuk restorasi dan harapan.
Melajah diplomasi sekaligus belajar dari keberhasilan yang memikat.

Sementara itu Indonesia berdiri di persimpangan yang getir. Deforestasi melaju bagaikan api dalam jerami kering.
Devisa melemah, kas fiskal kempes dan berteriak sepi.
Tata kelola lingkungan dianggap luntur di mata dunia yang waspada.

Dalam kerangka sejarah yang retak dan mesin negara yang tersendat.
Salah urus maupun salah arah menjalin simpul yang menyakitkan.
Bencana bukan hanya alam yang datang mengamuk.
Namun juga hasil dari luka lama, keputusan yang menggantung, dan asa yang hampir pudar.

Maka mari kita renungi bersama, Bahwa di balik derasnya banjir dan patahnya ranting-ranting pohon.
Terdapat kisah tentang kepercayaan yang perlu dirajut, tentang keberanian fiskal yang harus bangkit, tentang negeri yang ingin kembali berdiri, tegak di tengah badai.

Negeri yang ingin mendengar derap kaki harapan.
Membangun benteng bukan hanya dari uang yang terjebak Melainkan dari tekad dan rencana jernih.
Agar saat air datang lagi, tak hanya bisa bertahan.
Namun juga menari di tengah hujan, bukan tenggelam dalam bisu.

Ini puisi esai tentang kita, tentang rumah yang harus kita selamatkan bersama.
Bukan hanya dengan kata, tapi juga dengan tindakan yang bernyawa.

Batu, 9122025

Referensi 

Kunjungan Presiden ke Brasil: Belajar Pendanaan Restorasi Hutan, 2025.

***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PjS Kades Puncak Jeringo Tegaskan Dana Desa untuk Pembangunan, Bukan untuk Korupsi

Program Makan Bergizi Gratis Meluncur di Kabupaten Malang

YUA dan OK-OCE Dorong Evaluasi Kinerja Sekda Kota Batu