Kecepatan Nurani
Di bawah langit yang muram,
ada bisu yang berteriak—
di panggung gemerlap negeri,
politik terguncang oleh kecepatan nurani.
Rakyat bergerak tanpa jeda,
seperti sungai yang melintasi bendungan waktu,
mengalir deras membawa harapan,
mengobati luka kala bencana datang.
Namun ada yang resah diam-diam,
di balik gemuruh janji dan sakralitas kursi,
ketika solidaritas bersinar lebih terang
daripada sorotan lampu-lampu arena kekuasaan,
ada yang tersinggung,
seolah nurani itu ancaman—bukan cahaya.
Relawan tiba dengan langkah ringan,
lebih cepat dari sirene teriak negara,
donasi menjelma aliran deras sungai pengharapan,
dan media sosial menjadi pangkuan informasi,
tempat jiwa-jiwa bertemu, bersatu.
Namun panik bukanlah milik duka,
tapi milik ego yang tercekat kalah viral.
Lomba citra di antara reruntuhan,
mengaburkan arti nyawa yang terus bergelut.
Ini bukan sekadar konten,
bukan sekadar narasi yang diperebutkan,
ini adalah nyawa.
Ini adalah darah yang mengalir di tanah pertiwi,
suara bisu yang menuntut keadilan dan perhatian.
Ketika rakyat berdiri satu,
dengan tangan yang saling menggapai,
mereka bukan lawan, bukan saingan,
mereka adalah cermin nurani bangsa.
Dan di balik kegelisahan yang memecah,
mari kita ingat, bahwa bencana bukan panggung sandiwara,
melainkan panggilan suci kemanusiaan, di mana setiap doa, setiap uluran tangan, adalah sebuah puisi hidup dari hati yang tak terbagi.
Batu, 9122025
Komentar
Posting Komentar