KETIKA BANTUAN DITOLAK


Karya: Eko Windarto 

Para korban,
bencana menggulung Aceh dan Sumatera,
rumah hilang, keluarga terpisah,
rasa aman hancur, jiwa terperangkap sunyi.

Menteri Sosial berkata,
“Sepuluh ribu rupiah per hari.”
Sepuluh ribu
lebih murah dari parkir dua jam di kota besar ini.

Di sisi lain,
negara membelanjakan lima belas ribu untuk satu piring MBG,
sekali makan—sekali kenyang.

Apa arti angka-angka itu?
Satu piring lebih bernilai dari manusia kehilangan segalanya?

Mari hitung sederhana,
satu juta manusia di pengungsian,
sepuluh ribu rupiah sehari,
sepuluh miliar untuk mengisi perut, minum, obat, air bersih, harga diri yang hilang.

Datang bantuan,
dari Malaysia, dari langit Uni Emirat Arab,
beras dan logistik
solidaritas yang mengalir dari hati dunia.

Tapi apa kata negara?
Ditolak. Dikembalikan.

Dengan alasan prosedur,
dengan dalih gengsi dan kedaulatan bahasa kosong.
Padahal yang lapar tidak hidup dari protokol dan kehilangan rumah tidak kenyang oleh simbol yang hampa.

Ironi yang mencabik:
angka kebijakan dibanggakan
sementara wajah pengungsi tertutup lumpur dan debu kesedihan dan nganga luka.

Ini bukan soal uang,
ini soal malu segede gunung Semeru.
dalam nurani moral yang terkikis,
solidaritas dibuang di depan pintu. 

Negara seharusnya berdiri di garis depan menerima kepedulian, bukan memantulkan bantuan dengan segenggam alasan.

Dalam bencana,
yang diuji bukan hanya mesin birokrasi kaku, tapi hati dan nurani kekuasaan yang manusiawi.

Dan sejarah akan merekamnya
siapa yang sibuk menjaga wibawa
Siapa yang benar-benar menjaga manusia, dengan tangan terbuka dan hati membara.

Batu, 21122025

Dramatisasi puisi esai dari berita seorang menteri berkata akan membantu perorang 10 ribu/ perhari.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PjS Kades Puncak Jeringo Tegaskan Dana Desa untuk Pembangunan, Bukan untuk Korupsi

YUA dan OK-OCE Dorong Evaluasi Kinerja Sekda Kota Batu

Program Makan Bergizi Gratis Meluncur di Kabupaten Malang