Menggali Kedalaman Makna dalam "Sajak Mengenang Ibu"
Oleh: Eko Windarto
Puisi "Sajak Mengenang Ibu" karya Moel Soenarko lebih dari sekadar ungkapan kerinduan dan penghormatan terhadap sosok ibu. Ia adalah mahakarya yang menganyam kisah tentang keberanian, ketegaran, dan cinta tak bertepi dari seorang perempuan, dalam bingkai feminisme yang halus namun kuat. Sebagaimana kita menelisik potret ibu dalam puisi ini, kita menemukan gema-gema perlawanan terhadap norma patriarki sekaligus penghargaan mendalam terhadap esensi feminin yang membentuk tatanan hidup.
Bismillahirrohmanirrohim
# Hari Ibu
SAJAK MENGENANG IBU
Moel Soenarko
Beduk dan kokok ayam bersahutan dini hari
Kau lantunkan surat Ar- Rahman berkali- kali
Dari nada rendah sampai tinggi tak henti
Agar kami terjaga dengan peringatan dini
Bersegeralah menyalakan matahari
Lagu kata dan gerak tubuh meyakinkan
Jelas, terang dan berkelanjutan
' Bak nyala pelita dalam sanubari
Bila matahari bisa berlari mundur
Mengejar bayang- bayangmu nan tegar
Yang mengajarkan hidup bermoral
Yang menuntun mencintai sorga
Cintamu akan merayap keseluruh
penjuru, tak mengenal selesai
Kulantunkan selalu doaku mengenangmu.
#68# rusemoes# 22122021 #
# 126 # Bdg
Moel Soenarko melalui "Sajak Mengenang Ibu" tidak hanya sekadar mengungkapkan rindu, melainkan juga menampilkan lapisan-lapisan makna yang kaya dan kompleks. Mari kita bahas lebih mendalam beberapa aspek kunci yang membentuk puisi ini secara rinci.
Struktur dan Irama: Harmoni antara Tradisi dan Modernitas
Pertama-tama, dari sisi struktural, puisi ini diberi sentuhan yang sederhana namun penuh dimensi. Penggunaan bait-bait pendek dan pilihan kata-kata yang lugas menjadikan sajak ini mudah dicerna, namun sarat makna. Irama yang terbangun dari pengulangan kata-kata—seperti "berkali-kali" dan "tak henti"—menciptakan dinamika seperti suatu ritual yang tidak pernah lelah dilakukan, menggambarkan ketekunan dan konsistensi sosok ibu.
Penggunaan metafora “nyala pelita dalam sanubari” yang mengalir alami mengandung arti penerangan non-fisik, yaitu pencerahan hati dan jiwa. Ini menegaskan bahwa ibu menjadi cahaya dalam gelap, memberikan kehangatan dan arah hidup bagi anak-anaknya. Di dalamnya terdapat keseimbangan antara tradisi agama (pelantunan surat Ar-Rahman) dan ekspresi modern tentang kekuatan perempuan, menunjukkan perpaduan antara nilai lama dan semangat pembaharuan.
Simbolisme Beduk dan Kokok Ayam: Penanda Waktu dan Kesadaran
Puisi dibuka dengan “Beduk dan kokok ayam bersahutan dini hari,” sebuah gambaran waktu yang penuh makna. Beduk di dalam budaya Islam merupakan alat penanda waktu sholat, sedangkan kokok ayam menandakan pagi tiba. Keduanya menggema sebagai panggilan kesadaran spiritual dan kesigapan hidup.
Dengan demikian, suara-suara tersebut bukan hanya latar belakang, melainkan simbol kesadaran dan kewaspadaan yang diarahkan oleh ibu. Ia begitu erat dengan waktu dan ritme alam, menunjukkan harmonisasi perempuan dengan siklus zaman—satu pemikiran feminis yang menghargai hubungan perempuan dengan kehidupan dan alam, sebagai entitas yang hidup dan berperan aktif.
Surat Ar-Rahman: Pendidikan Agama sebagai Benteng Moral
Pelantunan surat Ar-Rahman berulang-ulang menandakan kedalaman spiritual ibu. Surah ini dalam Al-Qur'an dikenal sebagai "Maha Pemurah," penuh dengan pengungkapan kasih sayang Allah yang meliputi segala sesuatu. Sang ibu yang mengajarkan ayat ini bukan hanya mengajarkan bacaan, melainkan mentransmisikan rasa syukur, kekaguman pada ciptaan Tuhan, dan penegasan akan kehadiran kasih ilahi sebagai fondasi hidup.
Hal ini memperlihatkan bagaimana pendidikan agama di tangan ibu menjadi alat pemberdayaan, dan bukan sekadar kewajiban semu yang melekat secara budaya. Dalam konteks feminisme, ini menunjukkan bahwa perempuan mampu menjadi pilar utama dalam pembentukan karakter dan nilai etika yang berlandaskan keimanan, sebuah kontribusi besar yang kadang luput dari pengamatan sosial.
Metafora "Matahari Bisa Berlari Mundur": Interaksi Tak Sederhana
Gambaran “Bila matahari bisa berlari mundur mengejar bayang-bayangmu nan tegar” adalah metafora yang khas menggugah imajinasi. Matahari, simbol kekuatan, energi, dan kehidupan, dalam konteks ini dikinisiasi untuk mengejar bayang-bayang sang ibu yang “tegar.” Ini berarti ibu bukan hanya sumber terang, tetapi juga kekuatan yang melampaui berbagai tatanan alam biasa.
Bayangan yang dikejar ini mengandung arti bahwa kegigihan dan ketegaran ibu merupakan sesuatu yang lebih dahulu hadir dan diikuti oleh kekuatan besar seperti matahari. Ini menegaskan posisi ibu sebagai pusat kekuatan spiritual dan emosional dalam kehidupan, sekaligus menantang pandangan tradisional soal peranan perempuan yang hanya 'bayangan' di belakang pria, melainkan sumber energi utama yang menggerakkan kehidupan.
Doa yang Abadi: Cinta sebagai Energi Mengikat
Baris terakhir dalam puisi, “Kulantunkan selalu doaku mengenangmu,” membawa kita pada tema cinta abadi yang menopang relasi antara ibu dan anak. Doa yang tiada henti adalah bentuk cinta yang tak terlihat, namun sangat kuat menyentuh dimensi spiritual. Doa di sini bukan hanya ungkapan harap duniawi, tapi juga representasi ikatan batin yang lebih dari sekadar hubungan biologis.
Keberlanjutan doa ini mengisyaratkan bahwa cinta ibu tidak pernah berhenti, melintasi batasan ruang dan waktu. Sikap ini juga menjadi refleksi feminis dalam arti bagaimana cinta dan pengorbanan perempuan bukan sesuatu yang dimintai balik, melainkan energi yang mengalir tanpa pamrih dan penuh kekuatan.
Kehalusan Bahasa Puitis: Perpaduan Kelembutan dan Ketegasan
Secara keseluruhan, Moel Soenarko memadukan dua sisi keperempuanan dalam bahasa yang dipilihnya: kelembutan dan ketegasan. Ia mampu menyampaikan pesan feminisme tanpa nada keras atau provokatif. Pilihan diksi seperti “lantunkan,” “nyala pelita,” dan “moral” membawa kesan elegan yang sekaligus kuat, menegaskan keanggunan dan kekuatan ibu tanpa kehilangan kearifan budaya.
Hal ini penting untuk mendorong kesadaran bahwa perempuan bisa berdaya dan dihargai dalam wujud yang sesuai jiwa dan kultur mereka. Sajak ini menjadi contoh penting bagi karya-karya feminis yang juga mempertimbangkan konteks budaya, agama, dan tradisi dalam menyuarakan kesetaraan dan penghargaan terhadap perempuan.
Dimensi Sosial: Kritik dan Harapan untuk Perubahan
Puisi ini, selain penghormatan, juga merupakan kritik halus terhadap sistem sosial yang masih mengabaikan peran perempuan sebagai subjek utama dalam keluarga dan masyarakat. Dengan menonjolkan ibu sebagai penjaga nilai dan moral, Moel Soenarko mengajak pembaca untuk tidak mempersempit pandangan terhadap perempuan hanya sebatas peran domestik biasa.
Puisi ini mengindikasikan harapan bahwa perempuan, khususnya ibu, harus diberi pengakuan dan penghormatan sejati sebagai pilar kehidupan. Penghargaan terhadap peran mereka dalam pendidikan, pembangunan karakter, dan penjagaan spiritual dianggap sebagai landasan determinan keberhasilan generasi. Sebuah panggilan bagi masyarakat untuk menggeser paradigma patriarki yang menganggap perempuan pasif menjadi paradigma inklusif yang menghargai kapasitas dan peran perempuan secara utuh.
Kesimpulan
Analisis mendalam "Sajak Mengenang Ibu" karya Moel Soenarko memperlihatkan bahwa puisi ini adalah karya yang kaya makna dan berlapis-lapis. Melalui simbol-simbol tradisional dan bahasa puitis yang halus, penulis menyampaikan pesan feminisme yang lembut tetapi penuh daya, yakni tentang keberanian, ketegaran, dan keabadian cinta ibu.
Moel Soenarko berhasil mengangkat sosok ibu dari ruang domestik biasa ke panggung utama perjuangan moral, spiritual, dan sosial, sekaligus mengajak kita merefleksikan kembali arti pengorbanan dan kontribusi perempuan dalam membangun kehidupan. Puisi ini bukan hanya mengenang ibu, tapi juga mengukuhkan suara perempuan sebagai subjek yang patut didengar, dihormati, dan dijunjung tinggi dalam tatanan masyarakat.
Dengan demikian, "Sajak Mengenang Ibu" adalah karya monumental yang membelai nurani sekaligus membakar semangat keadilan gender, sebuah sumbangan berharga di ranah sastra sekaligus gerakan feminisme di Indonesia.
Batu, 21122025
Komentar
Posting Komentar