Nyanyian Cabai: Perjuangan Ferry Irwandi Melawan Birokrasi
Oleh: Eko Windarto
Di ufuk sana, di belantara digital
Berkibar sosok bernama Ferry Irwandi
Anak kandung angin kantor pajak dan hitung-hitungan,
10 tahun terperangkap di kubikel kementerian—
Kini terbang bebas, membelah badai dengan kata-katanya
Dia bukan hanya pembuat gambar dan suara
Ia adalah pemantik obor dalam kabut kelabu birokrasi
Yang menyulut bara keberanian hingga tentara
Suaranya melambung, menuntut tentara kembali ke baraknya
Menggetarkan dinding beton ego institusi yang keras
Diciptakan oleh aturan tak tertulis
Di mana ruang bicara warga sipil serupa neraka
Tapi Ferry menentang, memecah diam dengan lentera Stoik,
Menantang color loreng mengguncang pangkalan militer dengan logika
Linen Siber pun mengancam, tapi kekuatan jempolmu menjadi tameng, melindungi pijar kebenaran
Lalu terdengar kabar bawa tangan-tangan mulia itu;
Mampu menggalang dana sepuluh miliar dalam sehari,
Seakan sang surya baru menyinari jalan bencana
Menggetarkan lorong lorong DPR yang penuh gelagat iri
Dituding “sok kerja,” padahal hanya membuktikan
Bahwa hati rakyat berdenyut lebih cepat dari tinta birokrat
Tenanglah, sahabat, ini bukan sekadar cerita dana
Ini sketsa jelas bagaimana sebuah jiwa meruntuhkan tembok tabu
Menghadapi alat negara yang berat dan lamban
Ferry bukan hanya kumpulan angka di layar
Ia adalah luka dan api yang hidup dalam denyut nadi rakyat
Namun, puncak kejeniusan itu bukan di sana
Melainkan pada pesawat yang disewa, terbang membawa cabai
Dari Aceh yang terkepung bencana, hingga pasar ibukota lapar dan keroncongan
Sebuah jembatan ekonomi menghubungkan petani dan pejuang kota
Menyembuhkan luka tanah dengan sayap kecepatan dan akal bercahaya
Ini bukan sekadar amal, bukan pula pertolongan yang memelas,
ini pemberdayaan—mengalirkan martabat lewat transaksi
Meruntuhkan hambatan administrasi yang tak tahu malu
Membuktikan bahwa solusi kadang hadir di luar meja bundar gedung berkaca
Aduh, bagaimana mungkin ide sederhana ini datang dari jiwamu?
Di kamar-kamar rapat negeri yang jarang disentuh realita
Mereka terperangkap red tape bermain aman di zona nyaman
Sementara Ferry berdansa dengan ketidakmungkinan
Menangkap peluang di antara reruntuhan birokrasi kaku
Kisah ini, teman, bukan hanya kisah seorang anak muda,
Tapi peringatan keras yang menggema di hati bangsa,
Bahwa mesin besar ini sedang longgar, berkarat, dan nyaris mandek
Bahwa secercah cahaya seperti Ferry adalah tanda bahwa sistem kita belum sempurna
Namun, jangan tepuk tangan dengan puas
Karena pahlawan sejati adalah sistem yang melayani tanpa cela,
Adalah negara yang tak terlambat datang saat sesak tengah menerkam dada
Mari kita belajar dari tamparan Ferry
Jangan biarkan ia berdiri sendirian menembus resesi moral
Ajak dia berdansa bersama kritik membangun, mendesak perbaikan mesin negara
Agar kapal induk kita tidak lagi terancam oleh badai zaman
Di tengah gemuruh kekacauan ini,
Ferry adalah simbol, cahaya, dan suara rakyat
Yang menulis ulang narasi ketidakefisienan
Yang membuktikan bahwa keberanian dan kecerdasan sipil
bisa menampar wajah lama dan membangkitkan bangsa
Janganlah jadikan ia hanya cerita di layar kaca
Jadilah saksi, dan bagian dari gerakan nyata
Yang membuat pejabat di kursi empuk merasakan panasnya rakyat yang cerdas
Karena kini, bukan hanya suara mereka yang terdengar cadas
Tapi langkah nyata yang mengguncang fondasi negara
Ferry, dengan segala derap langkahnya
Adalah janji bahwa selama anak muda berani bermimpi dan bertindak
Negeri ini masih punya harapan—panen cabai bukan sekadar komoditas
Tapi simbol dari perlawanan, ketajaman otak, dan kemuliaan hati
Dalam menghadapi birokrasi yang lamban dan kaku
Jadi, mari melangkah bersamanya,
Dengan pena, suara, dan kaki yang tak mudah lelah bersuara
Batu, 18122025
Catatan kaki:
Berita dan analisis tentang Sang Kreator Ferry Irwandi dalam dramatisasi puisi esai
***
Komentar
Posting Komentar