Habis Cabe Muncullah Terang
Oleh: Eko Windarto
Ferry Irwandi,
seperti penyair yang membawa sajak matahari
Menggendong panel surya di pundaknya yang bertabur debu bumi
Membawa kilau matahari yang terperangkap dalam sekeping sepi
Di kampung Sumatera yang terluka,
dimana malam berbisik pilu dan angin mengantarkan tangis reruntuhan,
terang itu menyalakan jendela jiwa yang lama terkunci,
menghantarkan pelukan hangat dari sang surya yang abadi.
Habis cabe, muncullah terang—
bagaikan hujan setelah bara,
pedih yang membakar menjadi embun yang menyejukkan.
Seperti cinta yang pada awalnya terbakar liar,
lalu meredup menjadi nyala api yang setia dan lembut.
Dalam pelik luka, cinta itu memilih tumbuh,
melebihi reruntuhan dan kesunyian,
melukis harapan di kanvas malam yang kelam,
seperti rangkaian bunga yang mekar di tengah gurun pasir.
Satu jiwa yang tak sempurna,
menjadi lentera yang menolak karam dalam samudra duka.
Menggenggam cahaya
Menyelimuti dingin dan
menghidupkan kembali mimpi yang hampir terbenam di ujung sunyi.
Panel surya yang dibawanya bukan sekadar benda,
melainkan simbol puisi alam bersatu dengan duka.
Sebuah janji dalam tiap cahaya merekah di setiap luka
Dan ada cinta yang menunggu bercermin pada tiap tetesan air mata.
Di bawah langit yang tandus dan ruang yang hampa
Ferry berjalan dengan langkah cinta
Dalam diam menjadi penyelamat tanpa mahkota, di malam yang pekat tanpa bintang dan bunga.
Kampung itu bukan lagi hanya tempat berlindung,
tapi taman cahaya yang tumbuh dari seduhan hati yang membara,
tempat dimana penderitaan berubah menjadi tarian api,
dan jiwa-jiwa yang patah bersatu dalam simfoni.
“Habis cabe, muncullah terang,”
sebuah mantra sunyi menggema di dalam hati,
bahwa badai dan bercak darah akan pudar,
sementara cahaya dan cinta akan selalu kembali menjelma,
menyinari dunia dengan kehangatan abadi.
Batu, 21122025
Komentar
Posting Komentar