Taubat Nasuha di Ujung Bumi


Puisi esai: Eko Windarto 


Duduklah, kawan, di bawah langit yang muram
Satu surat pendek berbisik lirih
Dari Cak Imin, sang pengabdi negeri
Memanggil kita pulang, pada nurani yang lama tersesat

Taubat Nasuha, bukan sekadar kata
Ia adalah jeritan alam semesta 
Suara sungai yang mengalir deras membawa air mata
Hutan yang menangis gundul tanpa pelukan akar bermata
Bumi yang retak, menganga dalam luka

Sumatera, tanah kelahiran rimba dan cerita
Kini tersayat oleh hujan yang bukan lagi berkah oleh mata
Tetapi kedahsyatan banjir dan longsor
Membuka enam ratus nyawa melayang, ratusan hilang dalam pelukan malam yang pudar
Pasca air mencabut nyawa dan mimpi

Apa artinya tambang dan kebun sawit?
Bisakah mereka menukar nyawa dengan triliunan rupiah?
Sektor tambang mengais Rp 114 triliun
Sawit membisik Rp 88 triliun, angka-angka gemilang di atas meja kas
Namun, kerugian banjir menyisakan luka Rp 68 triliun
Menghapus nyaris tujuh puluh persen dari jerih payah tambang dan sawit.

Bisakah keuntungan dibeli kembali dengan nyawa?
Bisakah tumpukan uang mengganti tanah yang longsor?
Ini bukan hitungan untung rugi biasa
Ini matematika ego, yang tak pernah jujur
Besarnya pasak melebihi tiang
Kerusakan yang dipaksakan pada alam
Memaksa kita membayar tagihan yang tak pernah kita pesan

Alih-alih menjadi pahlawan, tambang dan sawit adalah penipu di balik layar
Pajak rakyat, keringat pekerja tanpa nama
Menyelamatkan negara dari jurang kebangkrutan
Sementara mereka yang menggali harta dari bumi
Membiarkan rusak menular bagai penyakit yang tidak disembuhkan

Dan di sinilah kekeliruan terbesar bersemayam
Profit di-privatisasi—disimpan dalam genggaman segelintir
Kerugian disosialisasikan—ditanggung bersama oleh rakyat
Ketidakadilan ini bukan semata soal ekonomi
Ia soal hati, moral, dan kelangsungan hidup kita semua

Pak Raja Juli, Pak Hanif, Pak Bahlil—apa kita cukup berani menatap mata mereka?
Memintanya bertobat bukan karena malu
Namun karena takut pada ajal yang menunggu di balik pepohonan yang tumbang
Pada banjir yang tak henti menghantui anak cucu kita

Izin-izin yang terbakar dalam keburu-buruan
Analisis lingkungan yang dilewati dengan terburu
Pemutihan ilegalitas yang memberi jalan bagi kehancuran
Semua adalah panggilan bangun

Panggilan Taubat Nasuha sesungguhnya—
Bertaubat dengan sungguh
Menyelamatkan bumi lebih berharga daripada cuan sesaat

Surat itu bukan hanya kata-kata,
Ia adalah nyanyian alam yang merintih
Ia adalah doa yang terbungkus tinta harapan
Sebuah pinta agar tangan para pemimpin berani menahan diri
Memilih yang benar bukan yang mudah

Karena kita tak bisa menyesap batubara
Atau menghirup sawit layaknya udara segar
Bumi ini butuh kasih, bukan kerakusan
Hutan ini butuh pelukan, bukan parang

Mari kita baca surat itu bukan dengan mata
Tapi dengan hati yang terbuka
Kita renungkan, kita peduli
Dan kita bertindak—karena masa depan tidak dijual murah

Sampai jumpa di babak berikutnya
Di mana kita belajar menjadi penjaga
Bukan perusak
Menjaga bumi agar tetap bernyawa
Menjaga anak cucu agar tetap bisa bermimpi

Batu, 4122025

Referensi:

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Laporan Banjir dan Longsor Sumatera, 2025.

Center of Economic and Law Studies (CELIOS). Analisis Kerugian Ekonomi Akibat Bencana Alam, 2025.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia. Laporan Penerimaan Negara dari Sektor Tambang, 2025.

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI). Statistik Industri Kelapa Sawit dan Kontribusi Pajak, 2025.

Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Realisasi Penerimaan Pajak Nasional, Oktober 2025.

Jikalahari & Eyes on the Forest. Investigasi Pemutihan Izin Sawit dan Hutan Berdasarkan SK Menhut No. 878/2014.

Literatur Ekonomi Politik terkait konsep “Privatizing Profits, Socializing Losses”.

***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PjS Kades Puncak Jeringo Tegaskan Dana Desa untuk Pembangunan, Bukan untuk Korupsi

Program Makan Bergizi Gratis Meluncur di Kabupaten Malang

YUA dan OK-OCE Dorong Evaluasi Kinerja Sekda Kota Batu