Setelah Hujan: Antara Bencana dan Harapan

Sumber foto: ANTARA 

Oleh: Eko Windarto 

Setelah hujan reda, langit Sumatra utara menghembuskan napas lega, tiga hari tanpa tangis air yang menggempur bumi, tujuh hari sebelumnya, langit menangis tanpa henti, deras dan panjang; siang dan malam bertaut, mengalir ke dalam relung hati yang luka.

Namun, reda hujan bukanlah akhir derita, bencana itu sudah mengoyak kehidupan, Sungai meluap membawa amarah, menenggelamkan mimpi, merobek harapan. Sumut, Sumbar, Aceh – tanah air berduka, tiga ratus tiga puluh tiga jiwa lenyap, masing-masing kabupaten merangsek duka, menggenapi daftar panjang korban bencana.

Pengungsi mengalir bak arus sungai yang tertahan, di tanah Aceh, setengah juta jiwa menunggu, menanti tangan-tangan terbuka, menanti secercah sinar di kala gelap, sawah rusak, sawit terbakar, rumah-rumah, sekolah, pesantren tak luput dari amukan air, di sana, lima kabupaten terperangkap isolasi, mereka terkurung luka, di perbukitan yang kini basah dan remuk.

Takengon, tempat yang biasa tenang, membawa misteri banjir bandang, bukit-bukitnya tergerus tambang emas, tambang ilegal yang merusak akar, menyulut amarah bumi yang meradang, hutan bertukar rupa dengan kebun sawit, dan dalam kesunyian, alam menangis pilu.

Pada waktu itu, PMI Aceh terjebak, di tengah hujan dan banjir yang menggilas, acara yang disiapkan menjadi semacam perang bertahan, lima hari berlalu, jalan keluar buntu oleh bah yang menggulung, dan air itu merembes semakin luas, menyeret rumah, memisahkan saudara, menelan kampung bak pusaran duka.

Sumatera lebih luas, tapi tubuhnya terkoyak, jalan berlumpur, truk-truk pengangkut kayu, menyusuri relung yang masih basah dan rapuh, mengangkut hutan yang dicuri, seolah membalas dendam pada korban, menginjak-injak harapan yang tersisa, menjemput kehancuran yang dijanjikan.

Puisi bencana tak hanya tentang air, tapi tentang kerakusan manusia yang tak kenal lelah, menebang rimba tanpa ampun, mengubah paru-paru bumi menjadi bara, keberanian para penebang hutan tumbuh seiring genangan surut, sementara rakyat terkungkung di balik tembok air, mati di bawah puing-puing rumahnya, sedang mereka yang memanen kayu menggenggam untung.

Di tengah parahnya luka, timbul kemarahan yang membubung, bukan hanya di tanah yang basah, tapi juga genangan kesadaran di negeri seberang, kemanusiaan diuji, apakah masih ada suara yang peduli, atau hanya desau angin yang melintas pelan?

Alam dan manusia kini berdiri berhadap-hadapan, alam dengan amarahnya yang murka, manusia dengan kerakusannya yang membabi buta, bencana bukan sekedar air yang turun, tapi cermin dari dosa yang tersembunyi, akan perjalanan panjang manusia yang lupa menjaga, tanah dan air yang menyambut setiap tetes peluh.

Namun dalam reruntuhan, ada pelita kecil yang menyala, gotong royong dan kepedulian, bersama mengalirkan harapan, dari puing-puing rumah yang roboh, dari ladang-ladang yang mengering, di tiap tetes air mata, ada doa, di balik kelam, terselip asa.

Setelah hujan, bukan hanya tanah yang basah, tapi hati yang terbuka, mengenal kembali kata kemanusiaan, melangkah bersama membangun kembali, menata puing menjadi cerita baru, dan menjaga alam yang kini terluka, menjadi rumah bagi anak cucu, bukan ranah bencana yang kembali membayangi.

Maka, mari kita dengar alam yang berseru, melalui gemuruh air dan bisu kayu, seruannya jelas – hentikan kerakusan itu, berikan ruang bagi tanah untuk bernapas, biarkan air mengalir tanpa amarah, biarkan manusia hidup dalam harmoni, dan setelah hujan reda, tanah pun tersenyum kembali.

Batu, 4122025

Catatan Kaki

Banjir di Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan Aceh pada Akhir November 2025, wilayah Sumatra bagian utara mengalami bencana banjir bandang yang melanda tiga provinsi utama, yaitu Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan Aceh. Hujan deras yang terjadi selama tujuh hari berturut-turut menyebabkan sungai-sungai meluap dan tanah longsor di berbagai kawasan perbukitan, menimbulkan kerusakan infrastruktur, rumah, serta lahan pertanian. Bencana ini merupakan salah satu yang terparah dalam dekade terakhir dan mencatat korban jiwa mencapai lebih dari 600 orang menurut data BNPB.

***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PjS Kades Puncak Jeringo Tegaskan Dana Desa untuk Pembangunan, Bukan untuk Korupsi

Program Makan Bergizi Gratis Meluncur di Kabupaten Malang

YUA dan OK-OCE Dorong Evaluasi Kinerja Sekda Kota Batu