Siapa yang Paling Panik Saat Tragedi Jadi Bencana Nasional?
Oleh: Eko Windarto
Kalau ada tragedi yang akhirnya ditetapkan sebagai bencana nasional, tahu siapa yang paling panik? Hampir pasti bukan rakyat biasa.
Rakyat? Mereka sudah panik duluan, jauh sebelum status itu resmi diumumkan. Saat air naik, tanah amblas, rumah rubuh, anak-anak hanyut, sawah mengering bahkan napas terasa sesak — rakyat sudah hidup dalam kepanikan itu. Bagi mereka, panik bukan sekadar emosi, melainkan situasi hidup yang terpaksa dijalani. Pilihan pun tak ada selain berjuang bertahan.
Lalu mengapa justru yang terlihat paling takut adalah mereka yang selama ini hidup nyaman di balik meja, di balik izin, di balik tanda tangan, dan laporan tahunan rapi tapi berbau busuk?
Dari pola dokumen yang tersebar, dari cara-cara kekuasaan bereaksi, dari kebiasaan negara yang sering jadi gagap saat kata “nasional” muncul — kita bisa membaca siapa mereka. Bukan lewat nama, tetapi lewat kepentingan yang mengendap.
Bencana Nasional: Lebih dari Sekadar Tenda Darurat dan Anggaran
Banyak yang melihat bencana nasional hanya soal tenda darurat, trauma healing, dan pembagian anggaran. Padahal, di balik itu, bencana nasional adalah pintu masuk audit besar-besaran.
Audit itu mimpi buruk bagi mereka yang selama ini hidup dari kelengahan sistem, dari lubang-lubang yang sengaja tidak ditambal.
Siapa mereka yang pertama kali panik? Mereka yang punya izin-izin di atas penderitaan rakyat.
Mereka yang Hidup di Atas Kelengahan Sistem
Ada perusahaan-perusahaan yang berdiri dengan mudah di atas tanah yang semestinya tidak boleh diganggu. Konsesi di lahan gambut, perkebunan di hutan lindung, tambang di hulu sungai — semua itu berjalan mulus selama bencana dianggap sekadar “banjir biasa”, “longsor musiman”, atau “cuaca ekstrem”.
Selama narasi menyatakan ini sebagai takdir alam, semua aman-aman saja.
Namun, begitu kata “nasional” terkena, narasi berubah drastis.
Ketika Narasi Berubah: Dari Alam Murka ke Penyebab Manusia
Semula kita dengar kalimat seperti:
“Alam sedang marah.”
“Cuaca kali ini memang ekstrem.”
“Itu bencana alam yang biasa terjadi.”
Tapi setelah status bencana nasional dikumandangkan, pertanyaan-pertanyaan kritis muncul:
“Siapa yang membuka hutan?”
“Siapa yang mengubah kontur tanah?”
“Siapa yang mengeringkan rawa?”
“Siapa yang menutup daerah resapan air?”
Itulah saat ketakutan sejati menyerang.
Status bencana nasional tidak hanya soal korban yang berjatuhan atau kerusakan yang terjadi. Itu adalah momen ketika sebab dan akibat mulai dicari tuntas.
Bencana Nasional ialah Panggilan untuk Transparansi dan Akuntabilitas
Status ini berarti audit besar untuk menentukan siapa yang bertanggung jawab. Pemerintah dan lembaga terkait mulai mengorek data, menginvestigasi, dan memetakan penyebab bencana secara mendalam.
Ini bukan hanya soal menghitung kerugian materi. Ini adalah soal membuka tabir ketidakadilan dan kelalaian sistemik yang selama ini dikaburkan oleh kepentingan-kepentingan tertentu.
Kepanikan di Balik Meja: Ketika Kepentingan Mulai Terancam
Orang-orang yang biasa hidup nyaman, menikmati keuntungan dari izin-izin tak bertanggung jawab, mendadak harus berhadapan dengan kenyataan yang mengancam.
Mereka yang selama ini “aman” karena bencana dianggap fenomena alam tak terelakkan, sekarang harus siap-siap menghadapi penyelidikan dan pertanggungjawaban. Izin-izin yang mereka genggam tiba-tiba menjadi sorotan utama.
Kepanikan mereka dapat dibaca jelas:
Apakah konsesi mereka akan dicabut?
Apakah perusahaan wajib bertanggung jawab atas kerusakan?
Apakah mereka harus membayar ganti rugi?
Atau, bagaimana skema penyesuaian aturan sehingga mereka tetap bisa beroperasi tanpa risiko besar?
Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah dan Masyarakat?
Kita tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa bencana adalah kenyataan tragis yang selalu membawa penderitaan. Namun, sebagai bangsa yang ingin maju dan adil, kita juga harus mengubah paradigma kita.
Pemerintah perlu bertindak tegas tanpa kompromi kepada kepentingan-kepentingan gelap yang memperburuk situasi.
Audit dan evaluasi kebijakan harus transparan dan melibatkan masyarakat luas. Jangan sampai proses ini hanya menjadi formalitas yang berakhir pada manipulasi data.
Masyarakat sipil dan media memiliki peran krusial untuk terus mengawal proses ini agar akuntabilitas benar-benar berjalan.
Kesimpulan: Bencana Nasional sebagai Momentum Revisi Sistem
Penetapan status bencana nasional bukan sekadar label resmi. Ia adalah titik kritis yang menguji integritas seluruh ekosistem pengelolaan sumber daya dan lingkungan di negeri ini.
Ini adalah momen pengakuan bahwa bencana bukan hanya alam yang marah—tapi juga sistem yang gagal.
Kepanikan yang kita lihat sejatinya adalah cerminan dari ketakutan orang-orang yang selama ini menikmati ketidakadilan.
Sementara rakyat, yang selama ini hidup dalam ketakutan dan ketidakpastian, justru berdiri paling tegar. Mereka sudah terbiasa berjuang tanpa harapan muluk, sedang pihak lain baru kalang kabut ketika audit dan kebenaran mulai dijalankan.
Mari jadikan bencana nasional bukan hanya soal pulih sesaat, tetapi perbaikan menyeluruh untuk masa depan yang lebih adil dan lestari.
Batu, 10122025
Komentar
Posting Komentar