Surat dari Lumpur: Suara Rakyat dalam Puisi L K Ara


Oleh: Eko Windarto 

Puisi esai “SURAT DARI LUMPUR UNTUK ISTANA” karya L K Ara bukan sekadar deretan kata yang mengekspresikan kemarahan atau kesedihan atas tragedi bencana. Ia merupakan seruan yang berdentum, sebuah gema suara rakyat yang terperangkap dalam lumpur keterlambatan dan ketidakadilan. Dalam uraian ini, saya mencoba menyelami puisi esai tersebut secara lebih detail, tepat, dan dengan gaya bahasa yang puitis namun memikat, agar keprihatinan sekaligus kritik yang terkandung di dalamnya tersampaikan dengan sempurna.

 L K Ara

SURAT DARI LUMPUR UNTUK ISTANA

Surat ini ditulis
karena negara memilih diam
saat diam berarti kematian.

Tidak ada kiasan di sini.
Tidak ada bunga bahasa.
Hanya fakta
yang dibiarkan membusuk
bersama tubuh rakyat.

Di lokasi bencana,
nyawa tidak diselamatkan—
ia ditunda.

Bukan karena mustahil,
melainkan karena negara
masih menimbang
risiko politik,
warisan kekuasaan,
dan siapa yang kelak
harus disalahkan.

Manusia dikalahkan
oleh rapat.

Bantuan dikalahkan
oleh kehati-hatian.

Keputusan dikalahkan
oleh ketakutan
mengakui kesalahan lama.

Lumpur datang tanpa izin.
Negara datang
dengan alasan.

Mayat tidak menunggu
legal opinion.
Anak-anak tidak hidup
dari pernyataan resmi.
Orang tua tidak bisa bertahan
dengan kata koordinasi.

Di sini,
negara tahu rakyatnya sekarat.
Dan tetap memilih berhitung.

Itu bukan kelalaian kecil.
Itu keputusan sadar
untuk tidak segera menyelamatkan.

Konstitusi—
yang katanya dijunjung tinggi—
dikurung di pidato,
dibungkam di lapangan.
Hak hidup diakui di atas kertas,
ditangguhkan di bawah reruntuhan.

Ini bukan soal bencana alam
atau non-alam.
Ini soal negara
yang gagal membedakan
antara tanggung jawab
dan kenyamanan kekuasaan.

Dua puluh tiga hari
bukan keterlambatan administratif.
Itu hukuman
yang dijatuhkan kepada rakyat
tanpa pengadilan.

Setiap hari tanpa keputusan
adalah satu persetujuan diam-diam
atas kematian berikutnya.

Dan ketika akhirnya negara datang,
ia datang
bukan sebagai penyelamat,
melainkan sebagai pencatat korban.

Hukum dijanjikan nanti.
Setelah nyawa habis.
Setelah lumpur kering.
Setelah sejarah
tak bisa diubah lagi.

Surat ini tidak sopan.
Tidak beretika kekuasaan.
Karena kematian massal
tidak pantas
dijawab dengan bahasa halus.

Jika kata-kata ini dianggap berlebihan,
ingatlah:
yang berlebihan
bukan kemarahan rakyat,
melainkan kesabaran mereka.

Dan jika kelak ada yang bertanya
siapa yang bertanggung jawab,
jangan cari metafora.

Cari
siapa yang punya kuasa
untuk menyelamatkan
namun memilih
menunggu.


Catatan Kaki (Puisi Esai)

 1. Penundaan penetapan status darurat dan pembukaan penuh akses kemanusiaan berdampak langsung pada hilangnya waktu emas penyelamatan (golden time) bagi korban.
 2. UUD 1945 Pasal 28A dan 28I menjamin hak hidup sebagai hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun, termasuk saat bencana.
 3. Dalam etika kemanusiaan dan hukum internasional, menunda penyelamatan demi pertimbangan non-kemanusiaan dapat dikategorikan sebagai kelalaian negara.

***

I. Sedimen Kebenaran dalam Setiap Baris: Kontekstualisasi yang Bernyawa

Puisi ini lahir dari sebuah konteks bencana alam yang sekaligus mencerminkan bencana kemanusiaan dan politik. Meski tidak secara eksplisit menyebut bencana tertentu, konteksnya sangat dekat dengan tragedi banjir bandang di Aceh dan Sumatera yang mengguncang negeri kita. Namun, puisi ini melampaui batas waktu dan tempat—ia menjadi suara universal yang meratap atas kegagalan negara dalam bertindak cepat dan adil saat rakyatnya terancam.

Dari sudut pandang hermeneutik, memahami “SURAT DARI LUMPUR UNTUK ISTANA” berarti mengakui bahwa ia bukan sekadar tentang lumpur. Lumpur di sini menjadi metafora bagi penundaan, bisu, dan kelalaian yang menjerat hak hidup rakyat. “Lumpur datang tanpa izin,” kata puisi itu, mengungkapkan bahwa bencana alam adalah kenyataan yang tak bisa dijinkan, namun yang lebih memilukan adalah ketika “negara datang dengan alasan,” yaitu dalih-dalih birokrasi dan politik yang membuat penderitaan bertambah lama.
II. Kepatuhan yang Membunuh: Kritik terhadap Mekanisme Kekuasaan

Salah satu lapisan penting puisi ini adalah kritik tanpa henti terhadap struktur kekuasaan yang diam, bahkan ketika nyawa dipertaruhkan. “Manusia dikalahkan oleh rapat,” pernyataan ini menunjukkan bahwa dalam ruang-ruang tertutup pengambil keputusan, kemanusiaan sering kali hilang di antara angka, prosedur, dan kalkulasi politik. Rapat yang seharusnya menjadi tempat cermat mengambil keputusan itu justru berubah menjadi momok kematian.

Dalam hal ini, negara digambarkan sebagai entitas yang menimbang “risiko politik, warisan kekuasaan, dan siapa yang kelak harus disalahkan.” Ketika prioritas utama bukan kehidupan rakyat, maka kekuasaan itu sendiri kehilangan makna. Puisi ini mengungkapkan bahwa negara bukan saja abai, bahkan secara sadar “memilih berhitung” — menghitung untung rugi politik sambil membiarkan rakyat jatuh.

III. Kontradiksi Kanan-Kiri antara Konstitusi dan Realita

Puisi ini juga menyentil ironi tajam antara pernyataan resmi dan kenyataan lapangan. Konstitusi yang seharusnya menjadi perisai bagi hak hidup rakyat—“yang katanya dijunjung tinggi”—justru “dikurung di pidato, dibungkam di lapangan.” Ini adalah gambaran nyata bagaimana hukum dan janji demokrasi dibuat tanpa nyawa. Hak hidup yang diakui secara legal hanya berada “di atas kertas,” tetapi ketika lumpur dan kayu gelondongan melumat rumah dan harapan, hak tersebut “ditangguhkan di bawah reruntuhan.”

Di sini, puisi dengan gamblang menegaskan bahwa klaim negara atas hak asasi manusia hanyalah sebuah wacana kosong bila tidak ada tindakan nyata dalam krisis. Hak hidup bukan barang yang bisa ditunda, ia adalah hak universal yang harus ditegakkan tanpa kompromi.

IV. Waktu Emas yang Terbuang: Ketika Penundaan Adalah Hukuman

Puluhan hari penundaan — dalam puisi ini disebut “dua puluh tiga hari”—bukan sekadar angka administratif. Ia adalah waktu emas (golden time) yang melewati batas, waktu di mana setiap menit berharga untuk menyelamatkan nyawa. Menunda penetapan status darurat atau bencana Nasional dan membuka akses bantuan kemanusiaan sama dengan membiarkan “mayat tidak menunggu legal opinion” dan “anak-anak tidak hidup dari pernyataan resmi.”

Dengan ungkapan ini, puisi mencoba membangunkan kesadaran bahwa dalam bencana, hukum dan birokrasi harusnya menjadi alat penyelamat, bukan tembok penghalang. Jika negara terperangkap dalam “ketakutan mengakui kesalahan lama,” nyawa yang melayang adalah konsekuensi yang tidak bisa ditoleransi.

V. Surat yang Tidak Sopan, Sebuah Panggilan Bangkit dari Kesabaran Tak Terbatas

Keberanian puisi ini terletak pada ketidaksopanannya menurut standar tata krama kekuasaan. “Surat ini tidak sopan. Tidak beretika kekuasaan,” demikian puitis L K Ara mengakui bahwa dalam menghadapi kematian massal, bahasa resmi yang halus justru menjadi bentuk pengingkaran atas tragedi.

Dari sudut pandang sastra, ketidaksopanan ini merupakan bentuk retorika radikal yang mengangkat suara rakyat tanpa filter. Itu adalah manifestasi kemarahan yang tercurah setelah kesabaran yang terlalu lama disiksa: “yang berlebihan bukan kemarahan rakyat, melainkan kesabaran mereka.” Kesabaran di sini bukan ketundukan tanpa suara, melainkan ledakan yang tertunda, sebuah revolusi kata yang membebaskan.

VI. Pencarian Penanggung Jawab: Dunia Tanpa Metafora

Penutup puisi ini runut dan mengena: ketika bertanya tentang siapa yang bertanggung jawab, janganlah mencari simbol atau metafora yang berputar-putar. Cari “siapa yang punya kuasa untuk menyelamatkan namun memilih menunggu.” Kalimat ini menuntun pembaca untuk tidak terjebak dalam ramalan atau jargon politik, melainkan untuk menelusuri secara konkret dan nyaring tokoh-tokoh dan mekanisme kekuasaan yang bertanggung jawab atas penundaan.

Esensi dari puisi ini bukan hanya sebuah kritik, tapi juga sebuah tuntutan akuntabilitas—dari kekuasaan yang selama ini menyimpan perhitungan dingin di atas nyawa.

VII. Simbolisme yang Melampaui Kiasan: Lumpur, Istana, dan Rakyat

Lumpur bukan hanya substansi fisik tetapi simbol kehancuran dan keterpurukan dari sisi sosial dan politik. Lumpur menelan kehidupan, harapan, dan masa depan, tetapi juga melingkupi diamnya negara yang tak bergerak.

Istana, sebagai lambang kekuasaan, menjadi entitas yang jauh, tertutup, dan cuek terhadap pengabdiannya pada rakyat. Rupanya, kekuasaan disini tidak lagi melayani, melainkan mengunci diri dalam kemewahan ketidakpedulian.

Rakyat adalah asmara sekaligus tragedi puisi ini; mereka yang terdampak dan terabaikan, sekaligus yang bersuara paling kuat lewat untaian kata-kata L K Ara. Mereka bukan hanya korban lumpur, tetapi juga korban kelambanan dan ketidakadilan.

VIII. Implikasi Sosial dan Literer: Panggilan untuk Kepekaan dan Perubahan

Puisi ini bukan sekadar dokumentasi penderitaan, tapi panggilan hati nurani untuk mempertanyakan hubungan negara-rakyat. Ia menyajikan gambaran pahit bahwa demokrasi dan hak asasi manusia tidak cukup dijunjung sebagai jargon, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan nyata, khususnya dalam situasi darurat.

Secara literer, penggunaan bahasa langsung yang tanpa kiasan dan bunga-bunga retorika menjadi kekuatan tersendiri karena memotong segala tipu daya bahasa upper-class dan politik, menggiring pembaca langsung ke inti penderitaan dan ketidakadilan.

Ini juga sekaligus membuka ruang diskusi tentang bagaimana puisi esai dapat menjadi alat kritik sosial yang efektif—memadukan keindahan bahasa dengan urgensi pesan moral dan politik.

Kesimpulan: Suara yang Melawan Diam dan Lumpur

“SURAT DARI LUMPUR UNTUK ISTANA” karya L K Ara adalah sebuah karya puisi esai yang penuh keberanian dan ketajaman. Ia mengaduk-aduk nurani pembaca lewat bahasa yang lugas dan detil, mengkritik sistem kekuasaan yang memilih diam saat rakyat sekarat, dan mengingatkan bahwa kematian massal akibat penundaan bukanlah nasib tak tertulis, melainkan keputusan sadar. Dalam surat ini, lumpur adalah luka, istana adalah jarak, dan rakyat adalah nyawa yang menunggu pengakuan dan penyelamatan.

Melalui uraian hermeneutik ini, kita diajak merenungkan ulang konsep negara, tanggung jawab, dan hak asasi yang sejatinya menuntut aksi nyata bukan hanya klaim kosong. Ini adalah puisi esai yang tidak hanya layak dibaca, tapi harus didengar, dirasakan, dan direspon. Karena di balik setiap kata yang terukir, ada nyawa-nyawa yang berjuang menunggu keadilan.

Batu, 23122025

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PjS Kades Puncak Jeringo Tegaskan Dana Desa untuk Pembangunan, Bukan untuk Korupsi

Program Makan Bergizi Gratis Meluncur di Kabupaten Malang

Melampaui Kanvas: Bagaimana Anang Prasetyo Membuka Pintu Jiwa Melalui Seni