Tak Siap, Namun Terus Merusak
Oleh: Eko Windarto
ketika BMKG bersuara,
nyaring, bagai angin yang mengguncang pepohonan kering,
“Indonesia tak siap,” katanya, “siklon tropis, fenomena yang tak lazim, tamu asing yang datang tiba.”
jujur kata-katanya mengiris nurani, mengundang tanya dalam diam dan sekali lagi terngiang:
jika negeri ini rapuh menatap langit yang marah,
mengapa tangan-tangan tak terlihat tak henti merobek tanahnya?
izin ditebar bak peluru, menembus hutan yang rapuh,
gambut dikeringkan, sungai di hulu dilumat tanpa keraguan,
tambang dibuka lebar, seperti luka yang tak mau sembuh,
membiarkan alam menangis dalam sunyi, tergerus oleh nafsu.
kala saksi bisu itu mulai bangkit,
siklon datang membawa deras air dan angin,
rumah-rumah hanyut, kampung-kampung tenggelam,
ratusan korban berjatuhan, bangsa menunduk dalam nestapa.
nafas haru menyusup ke celah-celah hati,
namun pelajaran apa yang benar dibawa pulang?
“kita belum siap,” bisik mereka dalam gema,
tanpa bisik penyesalan atas tangan yang meruntuhkan benteng bumi.
hutan yang hilang, pelindung pertama yang terlupakan,
sungai yang meluap, bukan cermin langit, tapi luka di hulu yang terbuka,
air bah tak menyembah izin atau peraturan manusia,
ia terbit dari derita tanah yang tertindas dan tertambat ilusi janji.
siapa yang mengemban dosa ini?
siklon yang merobek langit, atau awan yang melepas tangis?
tak, bukan mereka—melainkan suara-suara yang terabaikan,
keputusan sengaja yang menggali kubur bagi kehidupan.
bukan semata karena badai terlalu besar,
namun karena kita, manusia, yang membangun di atas kerusakan,
meninggalkan warisan luka dalam sejarah sementara,
menyaksikan negeri tercinta hampir rebah dalam bisu sengsara.
marilah kita berdiri dan mendengar alam yang berteriak,
meregangkan tangan pada bumi yang kian merana,
karena kesiapan bukan hanya melawan bencana yang datang,
namun menjaga sendi kehidupan agar tetap utuh tak tergores luka.
Batu luka, 3122025
Komentar
Posting Komentar