TANAH TAPANULI: LUKA DAN HARAPAN


Karya: Eko Windarto 

Tanah Tapanuli kini berdiri
Dengan luka lebih dalam dan
pekat
Daripada serpihan jembatan dan jerit roda tergeletak
Di tanah terkoyak

Banjir bandang bukan sekadar air yang mengalir
Ia adalah pusaran duka 
Menyingkap perut bumi
Menggulung akar dan janji Memecah tulang alam rapuh hati

Topan Senyar datang bukan angin biasa
Ia dendam dan menari di reruntuhan jiwa

Peta lama hancur bersama harapan;
sungai-sungai yang dulu setia mengalir pada jalur suci,
terpaksa bergeser, menulis ulang sejarah lembah dan bukit,
pecah dan terpanah —
seperti tubuh manusia teriris luka cuka.
Tangis tanah terbang ke udara.

Tak hanya rumah yang runtuh —
tetapi benteng terakhir biodiversitas Batang Toru,
menyerah pada kekuatan tak terduga.

Keabadian hutan mulai terkikis seperti pasir yang terhisap oleh arus waktu.

Tak satu pun suara alam ini dapat ditawar,
kala manusia dan satwa langka duduk dalam puing-puing ketidakpastian.

Dalam kehancuran ini terdapat bisu berteriak,
fragmen hutan terpotong-potong bukan sekadar peta di atas kertas,
melainkan fragmen kehidupan, pecahan doa bagi makhluk yang bernafas di dalamnya.

Fragmentasi itu adalah cermin kebijakan parsial,
yang selama ini menutup mata terhadap harmoni yang rapuh.

Di lereng-lereng itu, seekor macan mencari perlindungan.
Dahan telah hilang
Orang utan memandang langit kelabu dengan mata kosong.

Manusia yang dulu bersahabat dengannya, kini hadir dalam tatapan yang sama: ketakutan dan kehilangan.

Apakah bencana datang membawa serta konflik  terpendam?

Ketegangan antara manusia dan satwa menjadi nyawa yang tergantung, antara bertani dan melindungi, antara mencari nafkah dan merawat alam.

Lingkaran kompleks ini berdansa di atas reruntuhan.
Setiap jejak kaki manusia bisa menjadi langkah terakhir bagi satwa langka.
Dan setiap kehilangan satwa adalah luka.

Data-data pembukaan lahan yang baru harus dibaca tidak hanya sebagai angka,
melainkan sebagai catatan luka. 

Di dataran tinggi, tren pembukaan lahan bukan sekadar persoalan ekonomi,
melainkan pengkhianatan terhadap keseimbangan hati.

Sebuah bom waktu akan meledak bukan hanya dengan bencana alam,
tapi juga dengan bentrokan nasib antara manusia dan alam.

Oleh karena itu, kebijakan perlindungan harus menjadi jawaban pasti, bukan hanya retorika yang terhenti di ruang rapat.

Tindakan nyata 
Menata ulang hubungan manusia antara tanah, hutan dan alam semesta adalah warisan untuk 
dijaga demi kesehatan jiwa.

Menggenggam akar dan daun dalam tangan tak gemetar,
melihat pada tanah masih berdarah di lereng-lereng itu,
adalah tugas kita—untuk tak membiarkan luka ini menjadi rentetan bencana selanjutnya.

Tapanuli tidak hanya membutuhkan rekonstruksi fisik,
tapi juga penataan hati yang peka, jiwa yang arif, dan keberanian untuk berubah.

Di sana, di antara sisa-sisa reruntuhan dan harapan.
Ada panggilan untuk menyulam kembali harmoni 
Menghidupkan kembali janji 

Ketika angin berbisik lewat ekologi 
Dedaunan tidak lagi membawa cerita duka, tapi nyanyian kehidupan baru.

Pada akhirnya, Tanah Tapanuli bukan sekadar petak bumi yang terluka,
melainkan cermin kerentanan dan kekuatan kita sebagai manusia,
yang harus belajar mendengar alam,
sebelum alam memilih untuk diam selamanya.

Batu, 23122025

Catatan:

Dramatisasi puisi esai ini dicuplik dari berita https://nationalgeographic.grid.id/read/134333689/lanskap-berubah-usai-bencana-petaka-baru-mengintai-di-batang-toru

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PjS Kades Puncak Jeringo Tegaskan Dana Desa untuk Pembangunan, Bukan untuk Korupsi

Melampaui Kanvas: Bagaimana Anang Prasetyo Membuka Pintu Jiwa Melalui Seni

Program Makan Bergizi Gratis Meluncur di Kabupaten Malang