YANG BENAR-BENAR BERHARGA


Karya: Eko Windarto 

Di tepian tanah yang basah oleh luka dan air mata,
padi berbicara pada burung Sriti,
dengan suara yang tak sekadar bisik,
tapi gema jiwa petani yang mengerti musim dan amarah langit:

“Ketika banjir bandang datang,
yang benar-benar berharga bukan harta,
melainkan nyawa yang direnggut tanpa izin,
kelembutan hidup yang rapuh,
yang tak bisa dihitung dengan uang atau janji-janji kosong.”

Burung Sriti, dengan sayap yang lelah terbang melintasi awan kelabu,
menanggapi dengan bijak di antara aroma kopi yang mulai cair,
"Pada saat banjir mengalir deras,
cerita di warung kopi menjadi basi,
seperti pengulangan luka yang kerap terulang tanpa penyembuhan.
Ia bukan sekadar kisah untuk dituturkan,
tapi kambing hitam bagi rasa pahit yang terperangkap di tenggorokan;
kopi yang setiap pagi, sore, dan malam
mencengkeram tenggorokan kemiskinan yang tak memberikan ampun."

Kopi itu tinggal ampas —
sekilas sisa yang sulit dilenyapkan,
seperti jejak nasib yang membekas di antara riak air bah.

Mereka berdua, padi dan burung Sriti,
bukan hanya saksi,
tapi simbol dari kehidupan yang ditempa oleh badai dan kesetiaan.

Padi, yang merunduk rendah,
menari dengan angin, menguatkan bumi,
tetap bertahan walau benihnya terendam,
berjuang agar harapan tetap tumbuh di ladang yang lelah.

Burung Sriti, yang melayang bebas,
menyanyikan lagu perlawanan,
menjadi mata langit yang menyaksikan,
mengirim doa kepada laut yang deras, dan tanah yang merintih.

Banjir bukan sekedar air yang datang dan berlalu,
ia adalah catatan kelam sejarah manusia dan alam;
peringatan akan hubungan rapuh antara manusia dan bumi,
antara keserakahan yang melahap akar dan kehidupan yang direnggut.

Ketika harta bukanlah penolong,
dan cerita basi di warung kopi tak mampu menutup rapat luka,
yang tersisa hanyalah nyawa—
yang tak terlihat tapi paling berharga,
yang harus diselamatkan dan dirangkul.

Di antara genangan air dan ampas kopi,
tersembunyi seruan untuk bangkit,
melihat bahwa kehidupan bukan hanya tentang memiliki,
tapi tentang merawat, melindungi, dan berbagi.

Padi bilang kepada burung,
“Alam mengajarkan kami kerendahan,
dan dalam derita, kami menemukan kesabaran.”

Sriti menjawab,
“Kami, yang terbang di atas hujan dan air bah,
akan membawa pesan itu ke ujung dunia,
agar manusia tahu:
yang benar-benar berharga,
bukan benda tapi nyawa,
bukan kata basi tapi doa yang hidup.”

Maka banjir bandang menjadi panggilan,
bukan hanya untuk bersedih,
tapi untuk menyadari bahwa kemiskinan, seperti kopi pahit,
harus disaring dengan tindakan,
dan harapan harus dipanen di tengah kerontang.

Bersama padi dan burung, kita belajar:
Salam untuk nyawa, pelukan untuk bumi, dan doa untuk kemanusiaan.

Batu, 16122025

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PjS Kades Puncak Jeringo Tegaskan Dana Desa untuk Pembangunan, Bukan untuk Korupsi

Program Makan Bergizi Gratis Meluncur di Kabupaten Malang

YUA dan OK-OCE Dorong Evaluasi Kinerja Sekda Kota Batu